tag:blogger.com,1999:blog-50848316109902461122024-02-21T00:16:50.558+01:00Gua Susun UtaraUnknownnoreply@blogger.comBlogger13125tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-68625905153079286992007-08-31T17:12:00.000+02:002007-08-31T17:13:08.123+02:00Siasat Lawan Siasat"Kalian berdua, tunjukkan kemampuan kalian!" ucap seorang bergaya jawara kepada dua orang yang baru datang.<br /><br />"Baik!" sahut mereka berbarengan. Lalu mereka mengambil tempat dan mulai saling menyerang. Tendangan dan pukulan saling mereka lemparkan. Kelitan dan tipuan mengisi sela-sela benturan antara mereka.<br /><br />"Dakkk!! Duggg!!" begitulah suara suara saat kaki dan tangan mereka beradu. Setelah sekian lama tiada yang terlihat kalah atau menang, keduanya mencabut golok masing-masing. "Trangg!!" benturan kedua golok mereka menggema di udara. Keduanya melompat mundur karena kedua tangan terasa kesemutan dan bergetar.<br /><br />"Cukup!!" teriak orang yang mengamati dan menyuruh mereka tadi. "Tidak perlu sampai terluka. Bagus, bagus! Juragan pasti senang nanti."<br /><br />Kedua orang tersebut saling menjura dan kemudian mundur bergabung dengan orang-orang yang sudah sejak lama ada di sana. Orang-orang yang rata-rata berperawakan kekar dan bertampang sangar dan berperilaku kasar. Tukang-tukang pukul.<br /><br />Ki Sangar, kepala tukang-tukang pukul itu, mengajak orang-orang yang ada di sana dengan isyarat kepalanya agar mengikutinya. Mereka pun berbondong-bondong mengikutinya memasuki sebuah halaman luas yang sekelilingnya dilingkupi dinding berukiran patung-patung dan binatang. Sebuah halaman dalam dari rumah orang yang tadi disebut juragan oleh Ki Sangar. Seorang lumbung kota Kern.<br /><br />Di depan sebuah pendapa tampak seorang agak setengah tua dengan tubuh yang agak kurus, tidak biasa untuk sosok seorang lumbung, duduk diabit beberapa orang berpakaian rapih, bukan tukang pukul. Ia adalah Raden Mas Suryo Rabat, keturunan kesekian dari Ki Rabat, seorang pedagang yang merintis jalur perdagangan dari timur ke barat di tlatah Nusantara. Suatu jalur perdagangan yang akhirnya berlanjut ke seluruh bagian dan juga ke pulau dan kota Kern.<br /><br />"Ki Sangar, inikah tukang-tukang pukul baru yang akan dipekerjakan?" tanyanya.<br /><br />"Benar juragan Rabat!" sahut Ki Sangar sambil menunduk hormat.<br /><br />"Baiklah jika begitu. Bisa sekarang mulai dipisah-pisah berbagai keperluan?" tanya Suryo Rabat kepada Ki Sangar.<br /><br />"Bisa, juragan!" jawab Ki Sangar segera. Ia memanggil seorang yang datang dengan catatan di tangannya dan membacanya. Ia kemudian mengumumkan sesuatu. Tampak bahwa dari orang-orang yang baru akan bekerja itu ada yang memilih suatu bagian dan ada yang memilih bagian lain. Tampak bahwa mereka menimbang-nimbang posisi di mana mereka dipekerjakan.<br /><br />Akhirnya tersisi beberapa orang saja yang belum kebagian. Orang-orang yang tampaknya tidak terbiasa untuk bereaksi langsung apabila ada tawaran dalam pekerjaannya.<br /><br />"Nah, kalian berlima ini bertugas menjaga juragan Rabat. Kalian harus panggil dia dengan sebutan itu. Atau bisa juga lengkapnya, Raden Mas Suryo Rabat!" jelas Ki Sangar.<br /><br />Kelima orang itu menangguk mengiyakan. "Siap!!" sahut mereka bersamaan.<br /><br />Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Masing-masing tukang pukul baru mendapat pekerjaannya masing-masing. Demikian pula dengan dua orang suruhan Lo-kai. Hanya saja mereka tidak dapat terlalu akrab karena mereka menyaru sebagai dua orang dari daerah yang berbeda. Mereka mengaku Akrim dan Bandi. Satu berasal dari salah satu desa di pinggir Gurun Besar dan lainnya berasal dari desa di dekat kota Air Jatuh.<br /><br />"Akrim! Bandi!" panggil seorang tukang pukul kepada mereka yang sedang tampak berenam dengan kawan-kawan mereka mengaso sambil menyantap makan siang mereka.<br /><br />"Ya?" sahut Akrim. Sedangkan Bandi hanya mengangguk.<br /><br />"Sehabis makan nanti kalian dicari oleh juragan Rabat. Disuruh mengawal dia melihat-lihat ujung kota yang mengarah ke pantai utara daratan. Perjalanan bakal sampai besok pagi. Kalian bermalam di sana," jelas orang itu.<br /><br />Keduanya mengangguk mengiyakan dan mempercepat makannya.<br /><br />"Bakal membosankan perjalanan kalian," ucap seorang yang juga duduk di sana.<br /><br />"Maksudmu?" tanya Akrim. Bandi hanya mendengarkan sambil terus melahap.<br /><br />"Juragan Rabat biasa bersemedi di sana. Ia biasa melakukan itu untuk menenangkan dirinya dan untuk mengasah intuisi dagangnya. Ia selalu melakukannya sebelum melakukan transaksi dagang. Terlebih untuk pemilihan lumbung ini," jelas orang itu lagi.<br /><br />"Ya, lebih enak kalau mengawal ia pelesir ke pantai barat. Di sana ada rumah Kembang Merah. Kalau ia lagi baik, kita juga kebagian," tambah yang lain. Tawa bergelak orang-orang yang duduk di sana segera membahana. Bandi yang umumnya hanya diam, tampak pula tersenyum.<br /><br />Dari namanya saja, 'rumah Kembang Merah', sudah jelas apa maksudnya dengan pelesir. Bagi tukang-tukan pukul, suatu bonus berupa gratisan di sana sudah tentu amat didambakan. Juga tidak kecuali bagi Akrim dan Bandi. Tapi tugas dari Lo-kai lebih mengisi kepala mereka. Jika tidak berhasil, mungkin saja mereka tidak bisa pelesir selamanya.<br /><br />"Akrim, bilang ke juragan Rabat aku pergi dulu dan akan menunggu di gerbang selatan kota. Ada keperluan sebentar!" ucap Bandi yang segera berlalu.<br /><br />"Kemana dia?" tanya seorang tukang pukul setelah Bandi lenyap dari sana.<br /><br />"Entahlah, aku tidak begitu mengenalnya," ucap Akrim pendek. Berusaha meninggalkan kesan bahwa ia dan Bandi banyak tahu dan saling kenal baik.<br /><br />"Ya.. ya.. betul!" ucap seoran lain, "Kalian berdua itu berasal dari daerah yang berbeda."<br /><br />"Betul!" Akrim membenarkan. Rupanya masih ada yang ingat dengan wawancara yang dilakukan oleh Ki Sangar.<br /><br />Di depan pendapat halaman dalam kediaman Raden Mas Suryo Rabat tampak sang pemilik rumah, Ki Sangar dan Akrim.<br /><br />"Kemana Bandi?" tanya Ki Sangar demi hanya melihat Akrim yang ada di sana dari dua orang yang dimintanya tadi melalu seseorang untuk datang.<br /><br />"Ia menunggu di gerbang selatan kota," ucap Akrim pendek.<br /><br />"Baik, jika begitu kita berangkat!" ucap Ki Sangar sambil minta persetujuan juragan Rabat.<br /><br />Raden Mas Suryo Rabat menangguk dan mereka pun berangkat. Ketiganya menunggang kuda. Ki Sangar dan Raden Mas Suryo Rabat di depan, sedangkan Akrim di belakang sambil membawa kuda kosong untuk Bandi.<br /><br />Di gerbang selatang Bandi telah menunggu. Tampak di punggungnya bungkusan besar yang dijelaskannya pelan sebagai persiapan untuk menginap. Tidak banyak pertanyaan untuk itu. Mereka pun memasuk kudanya perlahan karena jarak dari kota Kern ke ujung pantai selatan pulau Kern tidaklah terlalu jauh.<br /><br />"Kita sudah sampai!" ucap Ki Sangar mewakili juragannya.<br /><br />Keempatnya turun dan menuntun kuda masing-masing lalu menambatkannya pada sebuah tempat yang diperuntukkan untuk itu. Lalu mereka berjalan memotong ilalang yang cukup tinggi sampai ke suatu kawasan yang mulai berpasir dan debur ombak mulai terdengar di balik bukit-bukit pasir di depan mereka.<br /><br />"Kalian berdua menjaga di sini!" perintah Ki Sangar. "Tanpa ada perintah, tidak boleh masuk ke sana!" katanya sambil menunjuk suatu bangunan kecil berwarna kegelapan di kejauhan. Ia dan Raden Mas Suryo Rabat bergegas berjalan pelan-pelan.<br /><br />Setelah mereka berdua tidak lagi terlihat karena telah masuk ke bangunan jauh di sana, Akrim memandang Bandi dan berkata, "Sudah engkau beritahu Lo-kai?"<br /><br />Bandi mengangguk dan memberi isyarat agar jangan terlalu keras mengucapkan kata-kata itu. Takut ada yang mendengar dan bisa membuka penyamaran mereka. Keduanya pun mulai membersihkan tempat mereka, ada sebuah bangunan kayu yang tampaknya memang untuk para penjaga yang menunggui orang yang akan menyepi di tempat itu.<br /><br />"Apa itu?" tanya Akrim sambil menunjuk bungkusan besar yang telah dipindahkan Bandi ke gubuk mereka.<br /><br />"Perlengkapan untuk menghibur diri," ucap Bandi sambil tersenyum. "Jika tidak, bosan kita semalaman hanya menganggur."<br /><br />Malam pun datang. Sesekali-dua Ki Sangar mampir ke pada mereka dan akhirnya pamit menuju kota Kern dengan berpesan agar tidak mengganggu Raden Mas Suryo Rabat dalam bersemedi. Hanya jika juragan memanggil, boleh mereka datang. Keduanya menangguk mengiyakan.<br /><br />Tiba-tiba sekelebat bayangan tampak muncul di hadapan mereka, di seberang api unggun yang mereka buat. Memandang mereka dengan mata, yang merupakan satu-satunya bagian muka yang terbuka dari topeng pada wajah itu. Sebelum keduanya sempat mencabut golok mereka bayangan itu segera bergerak lurus menembus api dan menotok keduanya.<br /><br />Bandi dan Akrim hanya bisa terdiam kaku. Mereka tidak tahu siapa yang datang itu. Lo-kai atau orang lain. Siapa pun itu tidak lagi mereka bisa berbuat banyak. Telah kaku mereka. Dan selanjutnya orang itu mengeluarkan kain dan menutup mata dan telinga mereka juga mengikat tangan dan kaki pada patok yang ditanam di tanah dekat mereka dan menyamarkannya dengan rumput dan tanah. Sekilas akan terlihat bahwa mereka terdiam hanya dengan mata dan telinga terbalut kain, tapi tidak nyata ikatan pada kaki dan tangan mereka.<br /><br />Kedua orang itu hanya bisa mengumpat pelan saat bau ikan dan ayam, yang rupanya menjadi bekal yang tadi dibawa Bandi, dibakar dan disantap orang itu. Samar-samar di balik balutan pada kuping mereka bisa terdengar orang itu mengunyah. Cara makan yang tidak menyembunyikan ceplak-ceplok suara mulutnya.<br /><br />"Sekarang saatnya bekerja!" gumam orang itu yang bergegas melesat pergi meninggalkan kedua penjaga yang telah dilumpuhkannya itu dan juga sisa-sisa makan malamnya.<br /><br />Sebelum orang itu sempat menjejakkan kakinya di pintu bangunan tempat menyepi itu, terdengar pintu ruang itu terbuka perlahan. Lalu sebuah suara terdengar tenang, "Silakan masuk, ki sanak! Aku telah menunggumu!"<br /><br />"Darimana orang yang dipanggil Raden Mas Suryo Rabat tahu bahwa aku adalah orang yang ditunggunya?" jawab orang itu terkejut. Sejauh yang ia tahu juragan Rabat bukan seorang yang berilmu tinggi. Bila betul, tentu siasat telah dimainkan oleh orang itu.<br /><br />"Dari dua orang yang engkau kirim untuk menyusup di antara tukang-tukang pukulku!" jelas juragan Rabat.<br /><br />"Yang mana?" jawab penyelinap itu.<br /><br />"Yang engkau temui di tempat menambatkan kuda di sana, di jalan masuk menuju tempat ini," jelas juragan Rabat lagi.<br /><br />"Engkau salah! Mereka bukan anak buahku!" jawab penyelinap itu lebih tenang. Ternyata juragan Rabat belum tahu siapa dirinya.<br /><br />"Bukan? Tidak mungkin!" jawab juragan Rabat, "Kami telah menemukan kabar bahwa kedua orang yang kusebutkan itu bukan berasal dari tempat asal mereka."<br /><br />"Itu urusanmu dalam merekrut orang. Urusanku adalah mengambil dirimu!" jawab penyelinap itu.<br /><br />"Untuk apa?" tanya juragan Rabat.<br /><br />"Untuk apa, itu urusanku! Engkau hanya perlu ikut dan jangan melawan!" jelas penyelinap dengan nada yang agak meninggi. Tak sabaran sudah terlihatnya.<br /><br />"Baik, aku ikut! Aku yang tiada kepandaian ini manalah bisa dibandingkan dengan dirimu, wahai Pujangga Sinting!" ucap juragan Rabat yang bergegas keluar tempat ia menyepi.<br /><br />"Salah lagi Raden Mas Suryo Rabat, aku bukan Pujangga Sinting," jawabnya pendek.<br /><br />"Tapi keterangan yang aku terima..?" jawab juragan Rabat yang tampak bingung.<br /><br />"Keteranganmu atau pencari informasimu itu kembali salah. Amat menyesal bahwa juaragan Rabat yang terkenal pandai menerima informasi yang salah," jawab orang itu dengan nada mengejek.<br /><br />"Kalau begitu, aku tidak ikut denganmu!" jawabnya.<br /><br />"Heh!" ucap sang penyelinap kaget.<br /><br />"Aku hanya akan ikut dengan Pujangga Sinting. Begitulah yang aku rencanakan!" jawabnya tegas.<br /><br />"Anda masih waras, juragan Rabat? Berani menolak perintahku?" jengek orang itu.<br /><br />"Kepada orang yang tidak kuketahui, mengapa harus takut?" jawab juragan Rabat jumawa, dengan sisa-sisa keberaniannya tentunya.<br /><br />"Baik.. baik.., aku tidak mau ribut! Orang-orang memanggilku...," jawabnya yang terputus dengan datangnya beberapa senjata rahasia yang memaksanya mengelak.<br /><br />"Tidak!!" teriaknya demi melihat setelah ia bangun dari gerakan menghidarnya bahwa juragan Rabat telah rebah dengan darah mengalir dari kerongkongannya. Sebuah pisau tampak menancam lurus di sana. Suara berkorokokan masih terdengar saat Raden Mas Suryo Rabat tersedak oleh darah yang mengalir keluar tubuh dan masuk ke dalam paru-parunya. Kehabisan darah dan kesulitan untuk bernapas.Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-41982750835759079162007-08-22T16:56:00.001+02:002007-08-22T16:56:33.512+02:00Pelupa atau Penipu atau Lainnya"Hiattt!! Desss!!!" pukulan lurus Lo-kai yang diharapkan dapat menjatuhkan dara yang menjadi lawannya itu dihadapi dengan jurus yang sama. Kepalan kasarnya bersentuhan denga kepalan yang terlihat lembut tapi berisikan tenaga yang berimbang.<br /><br />Keduanya meloncat mundur dan mengatur napas masing-masing merasakan apa ada bagian tubuh atau jalan darah mereka yang terluka.<br /><br />"Bocah edan, siapa kamu sebenarnya?" tanya Lo-kai jengkel. Ketidakmampuannya untuk menebak asal-usul dara itu dan ginkang serta sinkang dara itu yang hampir setingkat dengannya membuat ubun-ubunnya mendidih.<br /><br />"Kakek tua bangkotan, jangan kurang ajar sama subomu!" ucap dara itu sambil berkacak pinggang. Bermodal nekat ia masih berani bermain besar kepala di depan Lo-kai. Dari beberapa gebrakan tadi ia tahu bahwa ilmunya masih satu tingkat di bawah Lo-kai. Tapi kepercayaan dirinya membuat Lo-kai menjadi ragu-ragu, yaitu kalau-kalau dara itu masih menyimpan sesuatu.<br /><br />"Sekarang cepat katakan berita yang aku tidak tahu itu!" ucap Lo-kai, "atau engkau akan ku...!"<br /><br />Lo-kai tidak jadi melanjutkan ucapannya karena dara yang berdiri di hadapannya tiba-tiba terlihat pucat dan langsung jatuh berdebam di atas tanah, bahkan masih dalam posisi berkacak pinggang.<br /><br />"Rasakan bocah gendeng!" umpatnya pelan.<br /><br />Tapi saat ia ingin pergi dari situ masih ada rasa ragu-ragu apa yang sebaiknya ia lakukan kepada dara itu. Meninggalkannya sendiri, sudah tentu bukan keputusan yang baik. Bisa terjadi apa-apa pada dara itu nanti. Dan yang ia bingung kenapa ia, Lo-kai, bisa menjadi kuatir dengan keadaan dara itu. Membunuhnya? Kelihatannya ia sudah hilang niatnya sejak bentrok dengan dara itu. Ada kaitan khusus antara ia dan dara itu melalu ilmu silat mereka. Dan itu menjadi dorongan kuat baginya untuk mencari tahu. Akhirnya dengan jengkel akibat kelemahan hatinya, Lo-kai pun memanggul dara itu itu pergi.<br /><br />Tak disadarinya ada sesosok bayangan tampak tersenyum di balik pohon, gumamnya pelan, "Hehehe.., boneka kedua sudah siap pula.."<br /><br />***<br /><br />"Di mana aku?" ucap dara seorang dara.<br /><br />"Di tempatku," jawab Lo-kai pendek.<br /><br />"Di tempatmu? Dan apa yang telah engkau lakukan kepadaku?" ucap dara itu sambil memeriksa pakaiannya. Tak terasa ia melintangkan lengannya di kedua buah dadanya yang mulai tumbuh, seakan ingin melindunginya dari Lo-kai. Ia memandang Lo-kai dengan kuatir.<br /><br />"Bocah, lupakan pikiran itu. Aku sudah tidak minat dengan gadis bau kencur sepertimu!" ucapnya jengkel seperti ia dapat membaca pikiran gadis itu melalu sikapnya.<br /><br />"Kalau tidak berminat kenapa engkau membawaku kemari dan dibaringkan di tempat tidurmu? Untung aku segera tersadar.. kalau tidak.., pasti engkau sudah...," ucapnya terputus-putus.<br /><br />"Hei, dengar tidak? Aku bawa kemari agar engkau tidak ditemukan orang di hutan sana. Dan aku tidak minta mengapa-apain dirimu?" ujar Lo-kai dengan lebih jengkel dari sebelumnya.<br /><br />"Benarkah?" tanya dara itu.<br /><br />Lo-kai mengangguk.<br /><br />"Mengapa engkau menjadi menguatirkan diriku?" tanyanya lagi.<br /><br />"Entahlah!" jawab Lo-kai seadanya.<br /><br />"Tapi engkau tidak jadi mencintaiku, kan?" tanya dara itu lagi.<br /><br />"Jangan lagi memulai hal itu!" ketus Lo-kai.<br /><br />"Maaf!" jawab dara itu, ".. dan terima kasih atas pertolonganmu!"<br /><br />"Lupakanlah!" dengus Lo-kai. Ia tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Kejadian ini benar-benar di luar rencananya.<br /><br />"Siapa namamu?" tanya Lo-kai setelah diam sesaat dan memandang keluar jendela.<br /><br />"Tidak tahu," jawab dara itu.<br /><br />"Tidak tahu? Bagaimana bisa?" balik bertanya Lo-kai.<br /><br />"Ya, aku tidak tahu siapa diriku dan mengapa aku ada di sana menguping pembicaraan kalian. Aku juga tidak tahu bagaimana kau bisa berlari cepat seperti tadi dan bisa menghadapimu. Aku sama sekali lupa," jawabnya polos.<br /><br />Lo-kai tidak meragukan ucapan dara itu. Terlihat jujur saat ia mengatakannya.<br /><br />"Dan itu sejak kapan?" tanyanya lagi.<br /><br />"Lupanya?" memastikan gadis itu.<br /><br />Lo-kai mengangguk.<br /><br />Gadis itu menggeleng.<br /><br />"Ya, tentu saja..," ucap Lo-kai sambil menepuk dahinya, "Jika engkau lupa bagaimana engkau bisa berkelahi seperti itu dan ada di sana sebagaimana siapa dirimu, bagaimana engkau tahu sejak kapan engkau lupa!"<br /><br />"Saya rasa paman benar!" jawab gadis itu.<br /><br />"Paman? Sekarang engkau memanggilku paman?" jengek Lo-kai.<br /><br />"Mengapa? Tidak boleh?" balik bertanya dara itu.<br /><br />"Barusan engkau memanggilku Lo-kai," jawab Lo-kai.<br /><br />"Barusan? Kapan?" tanyanya balik.<br /><br />"Saat kita bertempur!" jengkel ungkap Lo-kai.<br /><br />"Kita bertempur, ya?" tanya dara itu memastikan.<br /><br />"Bukan tadi katamu engkau lupa bisa menghadapiku?" jawab Lo-kai.<br /><br />"Ya.. tapi apa benar itu terjadi? Aku lupa..!" jawab gadis itu.<br /><br />"Wah, repot.. repot!!" ucap Lo-kai sambil berjalan bolak-balik dengan sesekali menghadapi gadis itu. "Bagaimana ini?"<br /><br />"Kakek, tak usah bersedih! Apa yang sudah terjadi tak bisa kembali," ucap dara itu dengan nada menghibur.<br /><br />"Heh?" bingung Lo-kai menghadapi dara itu.<br /><br />"Ya, nenek sudah lama meninggal dan kakek menjadi sedih. Sudahlah! Aku masih di sini merawatmu," hiburnya lagi.<br /><br />"Siapa namamu?" tanya Lo-kai lagi.<br /><br />"Siang In," jawab gadis itu.<br /><br />"Bukannya tadi engkau lupa namamu?" bingung kembali Lo-kai bertanya.<br /><br />"Saya tidak lupa, kakek! Saya Siang In, cucumu!" katanya sambil memegang kedua tangan Lo-kai. Pandangannya yang iba membuat Lo-kai mau tak mau menjadi hanyut terbawa perasaan.<br /><br />"Ya, cucuku.. engkau cucuku Siang In," jawabnya.<br /><br />"Bagus!! Jika begitu kakek tenang saja, aku akan bereskan rumah dan memasak untukmu!" ucapnya gembira setelah ia menganggap kakeknya mengenali dirinya.<br /><br />"Eh?" ucap Lo-kai bingung.<br /><br />"Kakek, pergilah ke tempatmu bekerja. Nanti malam saat engkau kembali semuanya telah siap!" ujar dara itu sambil mendorong Lo-kai menuju pintu.<br /><br />Dengan bingung dan masih berusaha mencerna apa yang terjadi Lo-kai menurut dan pergi keluar. Sampai di jalan ia masih memikirkan apa yang barusan dialami dan siapa yang ia bawa ke gubuknya.<br /><br />"Biarlah, siapa tahu nanti ia bingung dan hilang. Memudahkanku," gumamnya. Ia pun pergi melangkah dengan cepat kembali ke markas para pemuda anak buah Tiong Pek.<br /><br />Sepeninggalnya Lo-kai tampak dara itu mulai membersihkan gubuk tempat tinggal Lo-kai.<br /><br />"Siang In, mengapa engkau mengaku namamu?" tiba-tiba gadis itu berucap sendiri.<br /><br />"Kim Hwa, mengapa tidak boleh aku mengaku?" jawab suara lain yang datang pula dari mulut gadis itu.<br /><br />"Nanti ia tahu siapa dirimu!" ucap Kim Hwa.<br /><br />"Lalu?" tanya Siang In.<br /><br />"Bila ia tahu siapa dirimu sebenarnya, bisa hal itu membahayakanku pula," jelas Kim Hwa.<br /><br />"Dia tidak akan tahu tentang kita," ucap Siang In menenangkan.<br /><br />"Tapi tadi ia sudah terlihat bingung denganmu," ucap Kim Hwa.<br /><br />"Tidak! Ia tidak bingung, Kim Hwa!" ucap Siang In dengan nada meninggi.<br /><br />"Terserahmulah!" jawab Kim Hwa, "Aku pergi..!"<br /><br />Lalu sunyi dan gadis itu kembali melanjutkan pekerjaan tadi tertahan. Ia membersihkan, menyapu, membuang sisa-sisa makanan dan memasak. Untung ada bahan-bahan untuk menghidangkan makana, jika tidak ia tak tahu bagaimana harus membelinya. Ia tidak menemukan uang di pondok Lo-kai itu.<br /><br />"Selesai!" ucap dara itu akhirnya. Pondok itu tampak telah bersih dan rapih. Di meja telah tersaji makanan yang masih mengepulkan uap dan matahari tampak sudah mulai menghilang dari ufuk barat. Segera ia menyalakan lampu dan menunggu 'kakek'-nya pulang.<br /><br />Tak terasa ia pun tertidur dan bermimpi dengan kepala tertidur di atas meja.<br /><br />"Siang In mengapa engkau membiarkan gadis itu ikut dengan kita?" ucap Kim Hwa sambil menunjuk seorang gadis berpakaian compang-camping yang menggandeng tangan Siang In dan terlihat takut-takut dengan pandangan galak Kim Hwa.<br /><br />"Kasihan dia, Kim Hwa!" ucap Siang In. "Ibunya baru saja meninggal dan ayahnya entah kemana."<br /><br />"Tapi itu bukan urusan kita," ucap Kim Hwa tidak setuju.<br /><br />"Ya, memang. Tapi jika dulu engkau menolongku, mengapa aku tidak boleh menolongnya sekarang?" bertanya balik Siang In kepada Kim Hwa.<br /><br />"Itu..," jawab Kim Hwa.<br /><br />"Aku tahu engkau dulu kesepian sehingga engkau mengambilku untuk menemanimu," jawab Siang In yang tidak tega melihat Kim Hwa kehabisan kata-kata, "dan aku pun sekarang demikian. Engkau jarang muncul akhir-akhir ini dan aku butuh teman saat engkau tidak di sini."<br /><br />"Aku pergi untuk kebaikan kita pula," ucap Kim Hwa.<br /><br />"Aku tahu itu!" jawab Siang In.<br /><br />"Baiklah, tapi kita tidak tahu siapa dia," jawab Kim Hwa sambil menunjuk gadis yang digandeng oleh Siang In.<br /><br />"Itu tidak penting, selama ia menemaniku," jawab Siang In sambil mengelus rambut gadis itu yang tampak amat berterima kasih kepada sikap Siang In terhadapnya.<br /><br />"Sudahlah bila itu maumu!" jawab Kim Hwa akhirnya mengalah dan mereka bertiga pun berjalan ke suatu arah dan mimpi itu tiba-tiba berganti.<br /><br />"Siang In? Siang In, engkau di rumah?" terdengar sebuah suara di luar rumah.<br /><br />Siang In yang mendengar suara itu segera menjawab, "Siapa di luar?"<br /><br />"Aku seorang yang lewat saja dan mendengar bahwa engkau bernama Siang In," jawab orang itu.<br /><br />"Aku tidak kenal anda. Berlalulah, paman!" ucap Siang In dengan anda kuatir. Ia tidak kenal orang asing itu dan tidak ingin orang itu masuk ke dalam rumahya sementara kakeknya tidak di rumah.<br /><br />"Bukalah pintu ini agar aku dapat melihatmu!" pinta suara itu.<br /><br />"Aku tidak mau!" ucap Siang In yang tiba-tiba menjadi panik. Dan tiba-tiba ia melihat gadis yang compang-camping bajunya itu berdiri di sisinya dan memegang tangannya. Dari padangannya ia menyetujui Siang In untuk tidak membuka pintu rumahnya itu.<br /><br />"Siang In, buka pintu!" ucap orang itu dengan nada tinggi.<br /><br />"Dukk! Dukk!!" tiba-tiba bunyi pintu digedor membangunkan gadis itu dari mimpinya.<br /><br />"Kakek?" tanya gadis itu.<br /><br />"Kau masih di sini?" ucap Lo-kai demi melihat bahwa gadis itu masih ada di pondoknya dan tampak baru terbangun. Matanya masih terlihat merah dan mengantuk.<br /><br />Dara itu mengangguk, "Mengapa aku harus pergi, kakek?"<br /><br />"Tidak, lupakan apa yang baru akau katakan!" ucap Lo-kai tidak ingin mengalami kembali pembicaraan yang membingungkan seperti tadi sebelum ia meninggalkan pondoknya.<br /><br />Pandangannya berubah saat melihat hidangan yang tersaji di atas meja. Lalu katanya, "Engkau yang membuatnya?"<br /><br />Dara itu mengangguk.<br /><br />"Bagus, cucuku!" jawab Lo-kai yang tidak ragu-ragu lagi menganggap gadis itu cucunya. Masakah lezat tiap hari setimpal dengan bebannya menampung gadis itu di pondoknya.<br /><br />Mereka pun kemudian mulai makan sambil Lo-kai tanpa sadar menceritakan apa yang baru saja ia lakukan, termasuk rencananya soal lumbung palsu. Mungkin kelezatan makan dan bersihnya ruang tinggalnya membuat ia percaya begitu saja terdapat gadis yang mengaku bernama Siang In itu.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-66229863740100384052007-08-22T15:13:00.000+02:002007-08-22T15:14:00.766+02:00Siasat Lumbung Palsu"Srett!! Takk!! Ahhh!!" dua orang jatuh bersimbah darah segera dan segera diserat ke dalam semak-semak. Orang-orang yang menyertai penyerang kedua orang itu tampak meneteskan sesuatu di atas tetesa darah yang timbul saat kedua tubuh korban mereka bergesekan dengan tanah. Sekejap berkas merah kehitaman itu tampak mengepulkan asap kekuningan dan hilang tak meninggalkan jejak dan bahkan berbau wangi. Seakan-akan tiada lagi jejak bekas darah di sana.<br /><br />"Rusak muka kedua mayat itu dan lucuti pakaian mereka. Lalu tuangkan ini di atas tubuh mereka," ucap seorang pengemis tua berbaju hitam dekil dengan rambut bergimbal padat, Lo-kai.<br /><br />"Baik, Lo-kai!" ucap dua orang yang disuruh itu. Bergegas mereka melakukan perintah itu dan suara takut tertahan keluar dari mulut mereka saat daging-daging dari kedua korban mereka meleleh dan meninggalkan tulang-belulang putih belaka. Hampir mereka melepaskan botol keramik yang mereka pegang demi menyadari betapa keras cairan yang ada di dalamnya.<br /><br />Seorang lain bergegas membakar baju korban-korban mereka dan menimbuni sisanya dengan tanah dan daun-daun. Setumpuk tulang-belulang sisa korban mereka juga ditimbuni tanah dan rumput-rumputan. Hilang sudah jejak pembunuhan yang baru mereka lakukan.<br /><br />"Kamu berdua, kemari!" perintah lokai kepada dua orang yang sudah dipersiapkannya. Dua orang itu sudah didandani sebagaimana kedua orang yang baru saja dibunuh. "Berlaku hati-hati. Mereka belum mengenal siapa yang dikirim sebagai pengawal baru, jadi kalian kelihatannya aman menyaru sebagai mereka."<br /><br />Keduanya mengangguk mengiyakan.<br /><br />"Saat kalian ada kesempatan berdua dengan lumbung kalian, beritahu kami. Ia akan digantikan juga seperti kalian!" ucap Lo-kai dalam nada kering, yang membuat keduanya merinding. Mereka tahu bahwa jika mereka tidak berlalu benar, mereka pun dapat 'digantikan' oleh Lo-kai ini, orang yang kemampuannya setingkat dengan Nionio.<br /><br />Keduanya kembali mengangguk dan lalu berlalu dari sana menuju tempat seorang lumbung yang sedang menunggu dua orang pengawal barunya.<br /><br />"Sekarang aku perlu seorang yang bersekolah paling tinggi di antara kalian," katanya sambil memandang berkeliling ke sekolompok pemuda di hadapannya itu.<br /><br />"Pek-twako paling pandai di antara kami," ucap seseorang.<br /><br />"Tiong Pek tidak boleh masuk hitungan. Ia punya peran lain di samping Nionio," ucap Lo-kai menghardiknya.<br /><br />"Kalau begitu, Han Tiong!" ucap yang lain.<br /><br />"Mana yang bernama Han Tiong?" ucap Lo-kai menanggapi usul itu.<br /><br />"Entah..., ia sudah dua hari ini tidak kelihatan. Biasanya ia suka tertidur di sembarang tempat dan bangun-bangun bingung. Mungkin kali ini begitu lagi," ucap seorang sambil tersenyum.<br /><br />"Suka tertidur sembarangan..., hmmm..," gumam Lo-kai mendengar penjelasan itu. Menarik, mirip kebiasaan seorang lumbung yang pemalas dan bodoh. Tapi setidaknya seorang lumbung harus bisa baca-tulis dan menghitung. Moga-moga orang yang diusulkan ini cocok.<br /><br />"Lo-kai, itu dia Han Tiong!" tunjuk seorang ke arah pemuda yang tampak berlari-lari menjelang mereka.<br /><br />"Maaf, aku tadi... tertidur...," ucapnya sambil malu-malu.<br /><br />"Sekarang bagaimana ceritanya, Han Tion?" goda seorang dari mereka.<br /><br />"Aku terakhir kali ingat hendak memberitahu Pek-twako, tapi ia sudah pergi bersama Nionio waktu itu.. dan entah bagaimana saat aku berjalan pulang, aku tertidur tiba-tiba dan bangun-bangun sudah di tengah kuburan..," ucapnya polos.<br /><br />"Kuburan... hiyy!!!" ucap beberapa orang dari mereka.<br /><br />"Mungkin engkau diculik hantu!" ucap seorang dari mereka.<br /><br />Dan pendapat-pendapat pun bersahut-sahutan dari orang-orang di sekelilingnya itu.<br /><br />"Sudah, cukup!!" tiba-tiba suara Lo-kai memecah kebisingan itu.<br /><br />Semuanya diam dan memandanginya. Terlebih Han Tiong yang sedari dua hari tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi. Dari orang yang menunggu markas mereka saja ia tahu harus ke sini.<br /><br />"Teman-temanmu bilang engkau bisa membaca dan menghitung?" tanya Lo-kai penuh selidik.<br /><br />"Ya, aku pernah sekolah sampai situ," jawab Han Tiong.<br /><br />"Coba baca ini!" ucap Lo-kai sambil menggores-goreskan tongkatnya di atas tanah di tengah-tengah mereka.<br /><br />"Hutang adalah kekayaan yang belum ditagih oleh penghutang..," bacanya atas huruf-huruf yang dituliskan Lo-kai.<br /><br />"Bagus!!" ucap Lo-kai. Ia sekarang percaya bahwa pemuda itu bisa membaca.<br /><br />Lalu ia mencoba menguji apakah Han Tiong juga bisa menghitung. Setelah beberapa kali diuji dan lulus, akhirnya Lo-kai mengangguk puas dan berkata, "Bagus!! Untuk kemampuanmu ini, aku punya satu tugas khusus!"<br /><br />Lalu ia menjelaskan bahwa Han Tiong akan berperan sebagai lumbung yang nanti akan ditangkap oleh kedua tukang pukul mereka yang adalah orang-orang Tiong Pek yang menyamar. Awalnya Han Tiong sempat menolak karena ia tidak tahu harus berlaku apa saat ia menyamar sebagai lumbung. Tapi Lo-kai dengan lihainya mengatakan bahwa ia hanya harus bisa membaca dan menghitung. Telah ada seorang juru bantu yang membatu tugas seorang lumbung, ia hanya perlu memastikan dan bisa mengerti apa yang nanti akan disodorkan.<br /><br />Selain itu ia dipesankan pula bahwa ia harus memecat tukang pukul-tukang pukul lain dan menggantikannya dengan teman-temannya. Dan pada akhirnya mengangkat Tiong Pek sebagai wakilnya dan Lo-kai serta Nionio sebagai penasehatnya. Dengan cara ini mereka semua bisa masuk dalam pertemuan para lumbung dengan leluasa.<br /><br />"Tapi Lo-kai, jika hanya untuk masuk saja apa perlu sesulit itu? Kenapa tidak kita serang saja?" tanya seorang bertubuh besar yang disegani oleh rekan-rekannya karena ukuran tubuhnya itu.<br /><br />"Bodoh!!" umpat Lo-kai dengan mata melotot, "Sudah tentu kalau sudah di dalam dan saat pemilihan kita bisa menggunakan otot, tapi di luar pertemuan banyak tentara kerajaan dan mau engkau membuat kita dicap sebagai pemberontak dan dikejar-kejar?"<br /><br />Segera orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan terdiam. Beberapa dari mereka juga mendadak menjadi pucat karena baru sadar bahwa rencana ini melibatkan hal yang berbahaya, berhadapan dengan kemungkinan bentrok dengan tentara kerajaan.<br /><br />"Kalian tidak usah kuatir!" ucap Lo-kai menenangkan sesaat ia melihat wajah-wajah yang kelihatannya jerih dengan tentara kerajaan, "Jika semua lancar kita hanya perlu berhadapan dengan para tukang pukul yang bisa kalian hadapi. Setelah Tion Pek menjadi seorang Lumbung Sejati, tidak akan ada yang bisa mengganggu gugat sampai pemilihan berikutnya. Dan tentara di luar tempat itu akan patuh pada Lumbung Sejati."<br /><br />"Kulihat engkau sudah menyiapkan segalanya dengan matang, Lo-kai?" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang tak lama terlihat sosoknya ditemani oleh seorang pemuda.<br /><br />"Sudah, Nionio!" jawab Lo-kai. "Dah bahkan sudah kujelaskan posisi Nionio dan juga Tiong Pek kepada mereka."<br /><br />"Bagus.., bagus!!" ujar Nionio.<br /><br />"Sekarang tinggal siasat Nionio untuk meyakinkan para lumbung agar Tion Pek terpilih, dan sebaiknya tidak menggunakan kekerasan," ucap Lo-kai.<br /><br />"Baik! Hal itu sebenarnya sudah kami bicarakan tadi malam," gumam Nionio sambil melirik Tiong Pek dengan mesra. Beberapa pemuda melengos melihat adegan itu, ada yang mengiri dan ada juga yang jengah. Lo-kai sendiri tampak santai-santai saja.<br /><br />"Aku percaya pada siasat kalian," ucap Lo-kai. "Masing-masing sudah mendapat tugasnya."<br /><br />"Grosakk, brugg!!" tiba-tiba terdengar seperti sebuah benda berat menyeruak di antara batang-batang bohon dan jatuh berdebam di atas tanah.<br /><br />"Ada yang menguping!" ucap Lo-kai cepat. Ia segera bergerak menuju arah bunyi itu tadi berasal. Sesosok bayangan tampak terlihat di kejauhan.<br /><br />"Nionio sampai nanti, aku cari penguping itu!" ucapnya segera pergi mengejar ke sana.<br /><br />Dengan mengempos langkahnya Lo-kai bagai terbang. Kakinya menotol sana-sini untuk semakin ringan melayangkan tubuhnya mengejar orang di depannya. Tak lama bisa ia sudah membayangkan orang yang ada di depannya itu.<br /><br />"Seorang gadis?" desisnya. Lawan yang tidak ia pikirkan. Tak banyak orang-orang berilmu tinggi dalam umur semuda itu. "Ia harus ditangkap. Jika rencana ini bocor...," gumamnya sambil kembali memacu langkahnya.<br /><br />"Selamat siang, Lo-kai!" ucap dara itu yang tiba-tiba berhenti di tanah lapang di sebuah pekuburan di atas sebuah bukit di luaran kota Kern. Sudah sepenanak nasi mereka berdua berlari sehingga lewat sudah batas kota.<br /><br />"Siapa engkau? Dan apa maksudmu menguping?" tanya Lo-kai dengan garang. Tongkat hitamnya tampak menunjuk mengancam.<br /><br />"Diriku itu tidak penting, tapi siasatmu itu yang penting!" jawabnya jenaka. Tak tampak ia takut pada sikap mengancam yang ditunjukkan oleh Lo-kai.<br /><br />"Apa maksudmu itu?" jawab Lo-kai tajam.<br /><br />"Bahwa dulu engkau mengusulkan kepada Nionio akan membantu seorang lumbung menjadi menjadi Lumbung Sejati tapi kemudian mengubahnya dengan menggantikan orang itu dengan salah seorang orangmu, mengagumkan diriku," jelas dara itu.<br /><br />"Engkau..!" ucap Lo-kai kehabisan kata-kata. Ucapan dara ini benar-benar menyerang siasatnya. Nionio sendiri yang juga menyadari perubahan siasat itu tak banyak berkomentar, tapi dara ini.<br /><br />"Dan Nionio sampai bisa engkau yakinkan, itu lebih membuatku menjadi semakin kagum," tambah dara itu.<br /><br />"Dan engkau mungkin akan membawa pengetahuanmu ini ke liang kubur," jengek Lo-kai dengan sinis.<br /><br />"Mungkin. Mungkin juga tidak!" ucap dara itu sambil memutar bola matanya menjuling.<br /><br />"Apa maksudmu?" tanya Lo-kai hati-hati. Ia harus yakin bahwa rencana ini hanya diketehui dara itu sebelum ia membunuhnya.<br /><br />"Lo-kai, apa tadi kamu yakin bahwa aku adalah satu-satunya yang menguping?" tanya dara itu lagi. "Berapa jumlah bunyi yang engkau dengar?"<br /><br />"Dua. Dua kali bunyi dan itu semuanya darimu!" berkata Lo-kai tajam.<br /><br />"Yakin?" balk bertanya dara itu.<br /><br />"Jika engkau saja baru bisa mencapaiku dalam waktu ini dan di sini, apa aku akan memperdengarkan bunyai apabila menguping?" tertawa dara itu.<br /><br />"Benar!" gumam Lo-kai. Sedari tadi ada yang kurang cocok dengan dara ini. Ilmu meringan tubuhnya yang bagus, tidak dibawahnya. Dan orang dengan gin-kang sebaik ini sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya diketahui saat menguping.<br /><br />"Biar begitu engkau tetap harus dibungkam," ucap Lo-kai pendek. "Penguping lain akan aku cari kemudian."<br /><br />"Baiklah jika engkau sudah bulat dengan keputusanmu itu," ucap dara itu lagi. Sikap yang tenang dari dara itu membuah Lo-kai agak hati-hati. Sedemikian tinggikah ilmu dara itu sehingga ia tidak takut? Atau adakah bantuan yang akan datang sehingga ia tenang-tenang saja? Atau ada perangkap di tempat ini?<br /><br />"Kulihat engkau mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, benarkah?" berkata dara itu melihat keragu-raguan Lo-kai.<br /><br />"Maksudmu?" balik bertanya Lo-kai. Tidak senang ia dinilai ragu-ragu.<br /><br />"Ya, bahwa aku tenang-tenang saja saat seorang Lo-kai berkata ingin menghabisiku..," jawabnya jenaka.<br /><br />"Engkau bisa menebak pikiranku," ucap Lo-kai pendek.<br /><br />"Begitu? Terima kasih!" ucap dara itu lagi. "Dan aku punya informasi yang engkau tidak tahu."<br /><br />"Apa itu?" jawab Lo-kai yang mau tak mau terbawa suasana jenaka sang dara.<br /><br />"Buat apa aku beritahu? Toh, aku akan menghadap giam-lo-ong!" ucapnya yang dibarengi dengan mimik sedih yang dibuat-buat.<br /><br />"Ya, sudah kalau begitu. Bersiaplah!" kata Lo-kai sambil melintangkan tongkatnya mengambil sikat kuda-kuda menyerang.<br /><br />"Apa boleh buat..," ucap dara itu sambil melintangkan tangannya dengan cara yang sama dengan Lo-kai. Kedudukan kaki mereka sama seperti diputar setengah lingkaran.<br /><br />"Jangan meniru-niru!" ucap Lo-kai yang segera menyerang dara itu dengan jurus Menusuk Lurus dan Berkelit Membabat.<br /><br />"Siapa yang meniru?" jawab dara itu yang segera melakukan hal yang sama. Hanya karena dilakukan dengan tangan kosong ia tidak menimbulkan angin kesiuran seperti ditimbulkan oleh tongkat yang dibawa Lo-kai.<br /><br />Lo-kai tertegung demi melihat gerakan dara itu. Jurus yang barusan adalah jurus yang jarang ia keluarkan. Hanya orang-orang seangkatan dengannya saja yang tahu. Tepatnya orang-orang yang pernah menjadi sahabatnya atau lawannya.<br /><br />"Dari mana engkau tahu gerakan itu?" tanyanya lagi.<br /><br />"Nah, sekarang jelas siapa yang meniru!" ucap dara itu tidak menjawab pertanyaan Lo-kai.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-56825767515717775392007-08-16T20:20:00.001+02:002007-08-19T19:10:12.996+02:00Darah Naga"Ada apa ya dengan Kiang Hu?" ucap seseorang.<br /><br />"Iya sejak beberapa hari ini, sejak ia berumur tujuh belas, tak lagi ia sering muncul bersama kita. Hanya kadang-kadang keluar untuk memandangi danau dan pergi ke toko buku atau perpustakaan. Waktunya habis dalam perpustakaan di rumahnya. Dalam kamar terkunci kata penjaga di sana," jawab seorang yang lain.<br /><br />"Mau kita sambangi?" usul orang pertama.<br /><br />"Entahlah... Ingat waktu itu, ia menolak kita datang," jawab orang kedua.<br /><br />"Benar!" jawab rekannya.<br /><br />Keduanya kemudian terdiam dan masing-masing sibuk dengan pikirannya masing-masing tentang apa yang sedang dilakukan oleh Kiang Hu sehingga tidak lagi bersama-sama mereka berdua berhaha-hihi kesana-kemari.<br /><br />Sementara itu yang sedang dibicarakan tampak kusust kadang, juga letih. Ia sudah beberapa hari ini kurang tidur dan hanya membaca dan membaca. Ia ingin tahu apa yang dimaksud dengan darah naga dan siapa itu Pangeran Ketujuh. Untuk itu dia perlu membaca banyak buku yang untungnya telah disediakan ayahnya dalam kamar baca itu. Beberapa rujukan yang kurang dapat ia peroleh dari toko buku dan perpustakaan. Ya, ia berpikir, sejalan dengan surat penitipan dirinya saat kecil, ia perlu bersiap untuk menghadapi mereka yang menitipkan ia ke keluarga bangsawan Kiang dan ada rencana apa dengan dirinya, sehingga terlihat serumit itu. Sedari waktu itu ayahnya memberi surat ia belum berdiskusi dengannya. Malam ini rencananya ia akan bertemu dan membicarakannya. Ia merasa telah cukup banyak membaca, sehingga cukup berbekal pengetahuan tentang apa-apa yang kiranya berkaitan untuk kemudian didiskusikan.<br /><br />Hanya ada beberapa hal yang masih menjadi ganjelan hatinya. Manusia naga, darah naga dan naga itu sendiri.<br /><br />Ia membaca bahwa bahwa semua itu saling terkait. Rahasia kuno antara kaum manusia dan kaum naga, dua jenis berbeda yang saling bersaing mendapatkan tempat pertama di tanah ini. Makhluk-makhluk lain tidak terlalu ambil pusing dengan persaingan ini. Sampai suatu saat manusia berhasil hampir membasmi semua naga, hanya beberapa jenis dan macam yang tersisa, yang merupakan tokoh-tokoh utama dengan keahlian tinggi. Mereka-mereka ini kemudian menemukan cara bahwa manusia memang makhluk hidup paling seimbang elemen-elemen alamnya, dan keunggulan itu juga yang membuatnya dapat dimanfaatkan sebagai inang dari hampir semua makhluk, termasuk naga. Para naga akhirnya menemukan bahwa manusia naga dapat dibentuk sebagai hasil kawin manusia dan naga dengan cara tertentu. Juga dapat darah suatu bangsa diwariskan dalam sifat tersembunyi dalam tubuh manusia, baru muncul setelah beberapa generasi. Cara kedua ini banyak digunakan sehingga sulit diperkirakan berapa jumlahnya. Ini yang disebut sebagai darah naga.<br /><br />Sebenarnya perkawinan antara naga dan manusia tidaklah lazim dikeranakan naga kadang pula memangsa manusia. Berawal dari persahabatan dan pengkhianatan antara dua orang manusia dan naga, yang mencoba-coba diri mereka sehingga menemukan hubungan yang dipergunakan sampai sekarang oleh para naga untuk menitipkan benih mereka pada manusia. Benih yang tidak akan segera mengejawantah melainkan bersembunyi dalam beberapa keturunan untuk menunggu sampai saatnya tiba untuk memunculkan sosok aslinya, manusia naga.<br /><br />"Jadi aku ini...," ucap Kiang Hu sampa sadar melihat ke tangannya dan tak sadar keringatnya mengalir dengan deras, ".. adalah keturunan naga..."<br /><br />Ia tak tahu apa ia harus gembira atau sedih dengan keadaan ini. Suatu hasil pencampuran antara dua makhluk yang berbeda. Ia sebelumnya sama sekali tidak ambil pusing akan keberadaannya sebagai manusia. Hidup sebagai seorang anggota keluarga bangsawan Kiang sudah menyenangkan dirinya. Mengapa harus datang hari ini, di saat ia berumur tujuh belas, hari di mana ia dijelaskan siapa dirinya.<br /><br />"Tok-tok-tok!!" tiba-tiba pintu perpustakaan tempat ia berada diketuk orang. Dengan cepat ia menjawab, "Ayah? Silakan masuk!"<br /><br />Segera dengan berderit pelan pintu masuk itu terbuka dan ayahnya masuk dengan perlahan dan menutup pintu di belakangnya. Ia pun duduk di sebuah kursi di hadapan Kiang Hu dan memandangi anaknya itu dengan diam.<br /><br />"Sudah siap engkau untuk berbicara?" tanya ayahnya pelan, memecah kesunyian bukan saja ruangan itu melainkan juga hari-hari Kiang Hu belakangan ini. Hari-hari semenjak ia mengetahui 'dirinya' yang sebenarnya.<br /><br />"Aku tidak tahu, ayah...," ucapnya jujur sambil menunduk memandangi kaki-kaki mereka berdua.<br /><br />Ayahnya hanya tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya. Lalu katanya, "Aku dapat mengerti keguncangan dirimu tentang hal ini."<br /><br />Hening mengisi pembicaraan di antara mereka.<br /><br />"Tapi engkau tetap harus mempersiapkan masa depanmu," ucapnya kemudian dengan nada yang lebih pelan tapi tegas.<br /><br />"Maksud ayah?" tanyanya tidak mengerti.<br /><br />"Masa depanmu dan juga terkait dengan rencana mereka..," ucap ayahnya hati-hati.<br /><br />"Mereka?" tanya Kiang Hu lagi.<br /><br />"Ya..! Mereka! Orang-orang yang menitipkanmu di tempat ayah ini, mereka memiliki rencana dengan dirimu. Rencana besar yang tercium bakal amis dengan darah..," berkata hati-hati ayahnya. Mukanya tampak tegang. Terlihat bahwa ia memaksakan untuk menceritakan hal ini kepada Kiang Hu. Mungkin atas dasar rasa sayangnya yang selama ini tumbuh, walaupun ia tahu anak itu bukan anak darah dagingnya.<br /><br />Lalu dengan perlahan orang tua itu bercerita kepada Kiang Hu apa rencana besar orang-orang yang menitipkan dirinya itu. Bahwa mereka mencari dan dengan paksa akan merebut bocah yang diyakini mewarisi 'darah naga' atas dasar kepercayaan pada suatu ramalan yang entah datang dari mana. Dalam ramalan itu dituliskan bahwa sang bocah akan menjadi pemimpin masa depan. Sudah tentu keluarga kerajaan yang sedang bertahta menganggap hal ini sebagai suatu ajakan untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan keluarga kerajaan pinggiran, sebagaimana orang-orang yang mempunyai rencana pada bocah itu, adalah orang yang percaya akan hal itu dan akan memanfaatkan sang bocah untuk mendapatkan kekuasaan dengan menggulingkan pemipin yang memerintah saat ini.<br /><br />"Dan bocah itu, ayah?" tanya Kiang Hu dengan tercekat.<br /><br />"Mereka meyakini bahwa bocah itu adalah dirimu, anakku!" jawab orang tua itu pelan.<br /><br />Keduanya terdiam cukup lama sampai kembali ada ketukan pada pintu ruangan itu.<br /><br />"Makan malam kelihatannya telah tiba, anakku..," ucap ayahnya sembari berlalu dari ruangan itu. "Lupakan dulu masalah ini untuk hari ini. Mari kita makan bersama-sama dalam keluarga."<br /><br />Kata keluarga bagai menikamkan sembilu pada dada Kiang Hu. Ia tahu, jika cerita itu benar, bahwa ia bukan lagi anggota keluarga ini. Tapi sepemberitahuan ayahnya, hanya mereka berdua yang tahu. Lain orang tidak. Jadi jika ia berlaku biasa, orang-orang lain pun tiada yang akan tahu. Ia pun kemudian mengangguk dan bersama-sama ayahnya meninggalkan ruangan itu setelah tak lupa menguncinya dahulu.<br /><br />Sementara itu jauh dari pulau dan kota Kern, di mana rumah besar keluarga bangsawan Kiang berada, seorang bocah yang berumuran sama tampak duduk dengan menundukkan kepala di hadapan dua orang tua.<br /><br />"Jadi begitulah, Thio Khi, cucuku!" ucap Pek Liong Nionio sambil menitikkan air matanya. Tak jauh darinya tampak Hek Liong Kongkong pung menunduk. Menarik napas perlahan.<br /><br />"Jadi..., aku bukan anak ayahku?" ucap Thio Khi perlahan.<br /><br />"Sekeyakinan kami..," jawab Hek Liong Kongkong perlahan, ".. tapi bisa saja itu salah.."<br /><br />"Ya.., itu masih bisa salah, cucuku!" ucap Pek Liong Nionio.<br /><br />"Tapi.. tapi.. jika mereka mengejar ibuku sampai pamanku dan teman-temannya terbunuh di bawah sana, di Lorong Utara, bukan itu sudah bertanda bahwa aku adalah.. seorang pewaris..," ucapnya tak bisa memuntahkan kata-kata 'darah naga'.<br /><br />"Ya.., itu dugaan mereka. Tapi mereka juga bisa salah," menghibur Hek Liong Kongkong. Ia merasa bersalah bahwa bocah ini mendapat tahu sebelum jiwanya siap. Terlihat sekali bahwa ia sama sekali tidak siap menerima kenyataan bahwa ia bukan dirinya yang ia ketahui selama ini. Bukan anak dari ayahnya yang diceritakan telah tiada.<br /><br />"Aku ingin bertanya kepada ibuku!" jawabnya pendek.<br /><br />"Lebih baik jangan, Thio Khi!" saran Pek Liong Nionio. "Ini akan membuat ia semakin sedih. Ia membelamu karena ia merasa yakin bahwa engkau adalah anak dari suaminya, orang yang ia cintai. Jika ia tahu bahwa engkau bukan anak tersebut... Tapi aku juga tidak tahu apakah ia tahu..."<br /><br />Hening kemudian menyelak pembicaraan tersebut. Ketiganya terdiam.<br /><br />"Dan.. pewaris satu lagi..," tiba-tiba Thio Khi bertanya.<br /><br />"Itu, kami belum pasti..," jawab Hek Liong Kongkong.<br /><br />"Liong-ji, jika ia tiba, bisa menceritakan hasil penyelidikannya kepadamu," menghibur Pek Liong Nionio.<br /><br />Mengangguk Thio Khi mengiyakan.<br /><br />"Lalu jika aku adalah bocah itu..," ucap Thio Khi perlahan, ".. apa yang harus aku lakukan? Apakah hal ini akan merubah hidupku?"<br /><br />Mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu, kedua orang tua di hadapannya saling melempar pandangan. Tampak bahwa mereka belum siap bapabila saat ini harus memberikan jawaban mengenai hal tersebut.<br /><br />"Tunggulah beberapa saat, Thio Khi! Kami akan menceritakan kepadamu setelah kabar terakhir dari Liong-ji tiba," usul Pek Liong Nionio.<br /><br />"Ya, Thio Khi. Tunggulah sebentar! Barang beberapa hari, engkau akan mendapatkan semua penjelasan," menyetujui Hek Liong Kongkong.<br /><br />"Baiklah jika demikian, kong-kong, nio-nio," ucapnya sambil menjura. Thio Khi pun kemudian mohon diri.<br /><br />Ia berjalan perlahan dari rumah kedua orang tua itu, memandangi tebing yang berundak-undak terjal di bawahnya. Kawasan Gua Susun Utara tempat ia tinggal. Ia tak tahu harus kemana dan bercerita kepada siapa. Cerita ini tidak boleh ia bagi kepada siapapun, begitu pesan kedua orang tua itu. Dan ia ingin melepaskannya.<br /><br />Tiba-tiba kesiuran angin dingin menyentak tengkuknya. Saat ia berbalik sesosok bayangan tampak telah tiba di sana. Tangannya yang panjang luar biasa, lebih dari manusia normal telah tiba dua-duanya di pundak Thio Khi, menekan lembut.<br /><br />"Engkau bisa bercerita padaku, adik!" ucap makhluk itu. "Aku pun telah diberi tahu bahwa engkau boleh berbagi..."<br /><br />"Kakak Asupasu...," ucapnya gembira.<br /><br />Keduanya kemudian berjalan menuju satu bagian di batu-batu sana yang mengarah ke laut. Malam yang cerah menampakk bintang-bintang di langit dan juga lampu-lampu dari rumah-rumah di pulau Kern. Kerlap-kerlip di atas dan di bawah. Mengisi kekelaman laut yang hitam pekat.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-71823082530257373652007-08-13T18:56:00.000+02:002007-08-13T18:57:09.869+02:00Rahasia Masa Kecil"Kiang Hu, darimana engkau?" tanya seseorang dengan suara yang tajam dan dingin.<br /><br />"Ayah..., eh.. saya dari alun-alun..," jawabnya terkejut. Tak biasanya ayahnya tiba di rumah jam segini. Pasti ada apa-apanya. Dan semoga itu bukan terkait dengan ulahnya mengacau di pasar atau toko dekat alun-alun tadi.<br /><br />"Engkau berkelahi lagi hari ini, bukan?" tanya ayahnya langsung.<br /><br />Terdiam Kiang Hu tak dapat menjawab. Menunduk ia untuk menghindari tatapan mata ayahnya yang memandanginya penuh selidik. Ia akhirnya mengangguk pelan.<br /><br />"Bagus, aku suka engkau jujur!" ucap ayahnya kemudian. "Kemarilah, ada yang harus aku beritahukan kepadamu, mengingat engkau telah cukup dewasa."<br /><br />Bingung dengan tiba-tiba perubahan sikap ayahnya Kiang Hu pun mengikuti langkah orang tua itu menuju ruang perpustakaan di rumah itu. Ruangan yang besar dan dindingnya hampir hilang ditutupi oleh beratus-ratus buku-buku kuno dan baru. Hal yang jarang mendapat perhatian Kiang Hu karena minatnya hanya bermain dan berkelahi.<br /><br />"Tutup pintunya!" perintah ayahnya.<br /><br />Kiang Hu pun menuruti. Ia menutup pintu depan tempat mereka tadi masuk dan juga pintu samping, pintu kedua yang mengarah ke ruang tengah.<br /><br />"Dan duduklah!" pinta ayahnya kemudian. Di pangkuannya tampak seberkas kertas-kertas telah ia keluarkan dari sampul coklat berbuat dari kain lusuh yang terlihat telah lama dimakan usia.<br /><br />"Tahukah engkau siapa dirimu?" tanya orang tua yang duduk di hadapan Kiang Hu kemudian.<br /><br />"Tentu saja! Aku Kiang Hu dan engkau adalah ayahku," jawabnya cepat. Bingung ia dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba terasa agak asing di depannya.<br /><br />"Sebenarnya, bukan!" jawab ayahnya pelan. "Tapi memang kebetulan she kita sama, she Kiang..," ucapnya pelan.<br /><br />Terhenyak hati Kiang Hu mendengar hal ini. Ia sama sekali tidak menyangka bawah ia bukan keluarga dari bangsawan Kiang yang terpandang di kota Kern. Jadi siapakah dirinya? Terbata ia bertanya, "Jadi.. siapa diriku, ayah?" Kata 'ayah' terdengar agak asing kali ini di mulutnya saat ia mengucap.<br /><br />"Semua itu dapat engkau baca dengan jelas di sini!" ujarnya sambil mengangsurkan berkas-berkas yang tergeletak di atas kantong kain lusuh itu. "Baca dan rahasiakan! Hanya engkau dan aku dalam keluarga ini yang perlu tahu. Ancaman rahasia ini adalah nyawaku!"<br /><br />Dengan bingung Kiang Hu menerima dokumen yang diberikan ayahnya. Ia bukan keluarga bangsawan Kiang, tapi she Kiang dan tidak boleh membocorkan rahasia ini. Suatu kenyataan yang bener-benar membawanya tenggelam dalam kegundahan.<br /><br />"Aku akan pergi dan membiarkanmu membaca dengan tenang. Hal-hal lain dapat engkau cari informasi dalam buku-buku di sini. Beberapa memang aku persiapkan untukmu. Setelah makan malam kita lanjutkan diskusi ini," ujarnya. "Kunci pintu setelah aku keluar!"<br /><br />Kiang Hu pun mengangguk. Ia mengunci pintu ruang perpustakaan keluarga itu saat ayahnya keluar. Sempat didengarnya ayahnya memerintahkan bahwa ia jangan diganggu kepada para pelayan. Kiang Hu sedang belajar, katanya dan hanya boleh diganggu saat nanti makam malam. Jadi ia punya waktu sekitar empat jam untuk mencerna apa-apa yang dituliskan di dalam kertas-kertas dalam genggamannya ini. Kenyataan mengenai masa lalunya.<br /><br />Sesaat Kiang Hu tampak memejamkan mata dan membukanya kembali, mengharapkan ini hanya mimpi. Tapi kenyataan dan keberadaan ia di ruang itu membuktikan bahwa ini adalah kenyataan. Dan kenyataan ini harus ia hadapi. Dengan perlahan ia membaca apa yang tertulis dalam berkas-berkas itu.<br /><br />"Bangsawan Kiang keturunan keempat belas,<br />keluarga luar dari kerajaan,<br /><br />kami menitipkan seorang anak dalam bimbinganmu untuk dibesarkan dan bila telah tiba waktunya untuk memperkenalkannya kepada kami. Pada saatnya itu engkau boleh memberikan surat ini kepadanya. Yakinkan ia bahwa ia tetap anggota keluarga bangsawan Kiang, walaupun bukan tapi ber-she sama.<br /><br />Dan lebih dari pada itu ia memiliki darah naga yang akan kami jelaskan saat ia telah bertemu dengan kami.<br /><br />Semoga jelas,<br /><br />Pangeran Ketujuh"<br /><br />"Pangeran Ketujuh.., ia yang menitipkan aku ke keluarga ini!" desisnya. Ia melihat satu titik simpul dari rahasia masa kecilnya. Dan orang inilah yang kiranya dapat menceritakan sesuatu lebih jauh dari pada ayahnya yang hanya dibekali oleh surat ini. Dalam berkas-berkas lainnya ia hanya melihat surat tanda lahir, siapa ayah dan ibunya. Entah dari mana, ia sendiri tidak merasa yakin akan keaslian surat-surat itu. Walaupun tersusun lengkap dan detil, tapi semua itu dapat dibuat. Ia merasa harus bertanya langsung dengan Pangeran Ketujuh.<br /><br />"Darah naga, apa pula maksudnya ini!" ujarnya kemudian. Ia pernah mendengar bahwa naga hidup dan ada. Suatu makhluk yang didominasi oleh elemen api dan sisanya sedikit udara dan sedikit sekali air dan tanah. Selain itu terdapat pula manusia naga, suatu paduan manusia dan naga. Tapi darah naga, belum pernah ia mendengarnya.<br /><br />Tak terasa telah habis waktu satu jam untuk merenung-renung apa yang ia baca dan untuk menentramkan hatinya, bahwa ia bukan darah daging keluarga besar bangsawan Kiang. Dan sebagai tambahan ada pula darah naga. Tiba-tiba matanya berbinar. Ia ingat perkataan ayahnya barusan, bahwa ada informasi dalam buku-buku di ruang ini. Dengan segera ia bangkit dan mulai menelusuri judul-judul yang tercetak atau tertulis pada pungung-punggung buku yang terpajang.<br /><br />Sementara itu, di atas bukit-bukit cadas dan keras, tampak tiga orang muda berdiri dihadang segerombolan anak-anak muda. Thio Khi, Ceng Sian dan Mei Lan, ketiganya berdiri saling bersandarkan punggung dan melihat berkeliling kepada orang-orang yang melingkupi mereka.<br /><br />"Orang-orang Gua Susun Utara, berani-beraninya kalian bermain sampai ke mari!" ucap seorang dari mereka.<br /><br />Ketiganya tidak menjawab melainkan hanya memandang satu sama lain, mereka saling mengangguk dan merasa bahwa tak ada gunanya bicara banyak. Diam lebih baik dan menanti sampai kemungkinan terburuk untuk membela diri. Dari tongkrongan orang-orang di hadapan mereka sudah jelas bahwa mereka adalah muda-muda yang suka sekali mencari gara-gara. Memang hari itu ketiganya bermain terlalu jauh ke utara, menuruni Lorong Utara dan bermain di bukit-bukit batu di bawahnya. Kawasan di mana orang-orang buangan dari kota dan pulau Kern tinggal.<br /><br />"Serang!!" perintah seorang dari mereka.<br /><br />Bersamaan dengan seruang itu ketiganya, Thio Khi, Ceng Sian dan Mei Lan berbegas menggerakkan tangan dan kaki mereka untuk menghalau belasan kepalan dan tendangan yang datang bertubi-tubi atas kepala, dada dan bagian lain tubuh mereka bagai hujan.<br /><br />"Bug-bug-bug!!" demikian suara pukulan dan tendangan mendarat pada tubuh mereka.<br /><br />Berbekal dengan keberanian ketiganya merangsek maju dengan saling melindungi. Dengan cara ini mereka hanya dapat diserang dari muka. Dan dengan bekerja sama sesekali mereka dapat menangkap seorang musuh mereka dan menghajarnya bersama-sama sebelum rekan-rekannya menyadari. Sudah tiga orang yang terkena dengan cara ini.<br /><br />"Mundur!!" perintah seorang dari mereka. "Jangan tertipu dengan cara mereka, kita gantian menyerang!!"<br /><br />Dengan cara yang baru ini, ketiganya menjadi lebih sulit untuk menangkap musuh-musuh mereka. Masih belasan jumlahnya dikurangi tiga yang telah semaput dan dibaringkan di pinggir arena perkelahian. Masih terlalu banyak untuk menang dan kabur dari tempat itu.<br /><br />"Bagaimana ini, Thio Khi?" ucap Mei Lan pelan sambil memperhatikan musuh-musuh mereka yang tampak bersiap-siap untuk kembali menyerang setelah menunggu beberapa saat.<br /><br />"Kita tangkap pemimpinya, pemuda itu!" ucap Thio Khi sambil mengerling ke arah seorang pemuda yang sedari tadi memerintahkan cara ini dan cara itu untuk menyerang mereka. "Kita pura-pura terdesak sampai dia maju dan memecah diri untu menangkapnya."<br /><br />"Baik!" ucap keduanya temannya.<br /><br />Lalu ketiganya kembali mantap melihat ke arah musuh-musuhs mereka yang kembali semakin mendekat.<br /><br />"Hiat!!" tiba-tiba Mei Lan menyerang mereka dengan tendangannya. Atas serangan yang tiba-tiba itu, seorang terkejut dan jatuh. Kesempatan itu digunakan oleh Thio Khi yang segera mengejar orang itu dan memapakinya sampai berjungkir balik dan pingsang. Saat yang bersamaan Ceng Sian bergegas mendekat untuk melindungi belakang Mei Lan.<br /><br />Melihat kesialan salah satu dari rekan mereka, para musuh Mei Lan, Ceng Sian dan Thio Khi menyerang dengan beringas dan bersama-sama, melupakan perintah dari pemuda pemimpin mereka.<br /><br />"Bodoh!! Mundur!!" bentak pemuda itu. Ia sudah melihat kerjasama ketiga orang itu dan menduga bahwa cara ini tidak akan mempan.<br /><br />Tapi di luar dugaan Mei Lan tampak tersandung dan jatuh ke belakang. Untung saja Ceng Sian bergegas menangkapkan yang Thio Khi menepiskan serangan yang bertubi datang. Mereka bertiga bergegas mundur. Keberhasilan ini membuat para lawannya bersorak dan maju merangsek. Tak luput pula sang pemuda pemimpinnya.<br /><br />"Sekarang!!" tiba-tiba Mei Lan berteriak.<br /><br />Ceng Sian yang telah siaga segera melontarkan Mei Lan ke atas dan ke depan. Dengan bersalto indah dara itu melompat melewati kepala musuh-musuhnya dan tiba di belakang mereka. Sebelum mereka sadar apa yang direncanakan ketiga muda-muda itu, Thio Khi bergerak maju dan menyerang pemuda pemimpin mereka.<br /><br />Diserang dari depan dan belakang secara tiba-tiba membuat pemuda itu tak siaga. Demikian pula dengan rekan-rekannya. Secara cepat Mei Lan menelikung tangan pemuda itu dan memeluk lehernya. Siap mematahkan leher pemuda itu.<br /><br />"Tahan!!" teriaknya. Baru sekarang ia sadari taktik itu. Mereka memang telah merencanakan untuk menangkap dirinya, pemimpin dari muda-muda ini.<br /><br />Para pemuda itu terdiam dan tidak tahu akan berbuat apa. Thio Khi datang mendekat dan berbicara dengan orang yang ditelikung oleh Mei Lan, "Kami tidak bermaksud bermusuhan dengan kalian. Jika kami dibiarkan pergi, engkau juga akan kami lepaskan dengan aman. Tapi sayang engkau harus ikut sampai kami aman ke dalam Lorong Utara."<br /><br />Orang itu mengangguk. Ia tahu punya pilihan lain. Tidak jika ia masih ingin lehernya utuh dan tidak patah. Segera ia menyerukan kepada teman-temannya untuk kembali dan ia akan menyusul kemudian. Dengan ragu-ragu walau akhirnya menurut mereka pun buyar dan menghilang dari sana sambil membawa rekan mereka yang terluka dan pingsan.<br /><br />Setelah sepi bergegas Mei Lan, Thio Khi dan Ceng Sian kembali ke kawasan di mana mereka tinggal. Kali ini tawanan mereka dibawa oleh Thio Khi. Mei Lan telah terlihat lelah tadi menelikungnya.<br /><br />"Ayo cepat!" seru seorang dari mereka. "Sebentar lagi sampai di Lorong Utara."<br /><br />Mereka pun mempercepat langkah-langkah mereka. Tepat pada saat mereka hendak mencapai anak tangga terakhir, tawanan mereka berontak sehingga ia dan Thio Khi terjatuh. Dengan bergumul ia dan Thio Khi bergulir turun sampai ke suatu pelataran antara bukit-bukit batu di bawah dan Lorong Utara di atas. Dengan pucat Mei Lan dan Ceng Sian memperhatikan mereka.<br /><br />"Cari Asupasu!" ucap Ceng Sian.<br /><br />Mei Lan mengangguk dan menghilang di dalam Lorong Utara, sementara Ceng Sian turun menjelang kedua orang yang masih bergumul itu.<br /><br />"Thio Khi, sudah lepaskan dia!" ucap Ceng Sian.<br /><br />Tapi kelihatannya kedua orang itu tidak mau mendengar dan masih saja bergumul. Sampai tiba-tiba muncul seorang tua di tempat itu dengan tongkatnya yang butut. Ia mencungkil dengan pelan dan membuat kedua pemuda itu terlepas satu sama lain dan 'terbang' ke arah yang berlainan.<br /><br />"Kongkong!!" ucap pemuda lawan Thio Khi demi melihat siapa yang datang. "Pemuda itu.."<br /><br />Tapi sebelum ia selesai menunjuk kepada Thio Khi dan menceritakan alasannya, dengan kasar kakeknya menghardik, "Sudah, pulang kita! Jangan sekali-kali lagi engkau menganggu darah naga!"<br /><br />Dengan membungkus sedikit hormat kepada Thio Khi orang itu bergegas mengempit cucunya dan hilang dari sana. Lenyap seperti tadi ia datang. Thio Khi dan Ceng Sian hanya dapat bengong mengamati tanpa mengucapkan kata-kata.<br /><br />Di belakang mereka tampak Mei Lan dan Asupasu juga beberapa orang datang menjelang. Kekuatiran tampak dalam wajah mereka. Bergegas mereka membantu Thio Khi berdiri dan melihat keadaannya. Setelah itu mereka memapahnya pulang ke Lorong Utara. Dalam perjalan pulang itu sempat Thio Khi bertanya kepada Asupasu yang memapahnya, yang ia sengaja cegah untuk berjalan agak jauh dari yang lain, "Kakak, apa arti darah naga?"<br /><br />Asupasu terdiam dan menatap dengan tajam wajah Thio Khi, "Dari mana engkau mendengarnya?"<br /><br />"Kakek pemuda yang bergumul denganku tadi mengatakannya. Ia memerintahkan pemuda itu untuk tidak menggangguku karena darah naga," jelasnya.<br /><br />"Itu..., terkait dengan masa kecilmu. Jangan ceritakan kepada siapa-siapa!" ucap Asupasu. "Siapa lagi yang tahu?"<br /><br />"Aku tidak tahu apa Ceng Sian mendengar. Ia berdiri cukup dekat denganku saat itu," jawab Thio Khi.<br /><br />Mengangguk Asupasu mendengar hal itu. "Tanyakanlah kepada Hek Liong Kongkong dan Pek Liong Nionio soal hal itu. Mereka akan menjelaskan," jawabnya kemudian.<br /><br />Thio Khi mengangguk. Dalam hatinya ia bertanya, mengapa istilah itu demikian penting atau kurang terkenal sehingga harus kakek dan nenek itu yang menjelaskan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-67686822398962750062007-08-13T16:27:00.000+02:002007-08-13T16:28:03.663+02:00Rencana Kecil Lo-Kai"Jangan ke sana, nionio!" ucap pemuda itu sambil menunjuk beberapa bangunan tinggi besar dan berdindingkan tembok yang telah suram warnanya.<br /><br />"Mengapa?" tanya wanita berambut emas yang berdiri di samping pemuda itu. Tak lupa ia menyelipkan lengannya di pinggang sang pemuda, menandakan hubungan keduanya tidak biasa.<br /><br />"Itu daerah kekuasaan para lumbung," jelas sang pemuda.<br /><br />"Para lumbung?" tanya wanita itu lagi. "Jelaskan!" perintahnya pendek.<br /><br />"Para lumbung, adalah para pedagang khusus bahan makanan pokok yang menguasai pemasaran ke dan keluar pulau dan kota Kern. Mereka menguasai harga dan juga jalur distribusinya. Mereka menentukan harga dan siapa-siapa yang boleh membeli dan menjual dari dan ke mereka. Dan selain itu mereka mendapatkan hak khusus itu dari kerajaan, bahkan sejak ratusan tahun yang lalu," jelas pemuda itu.<br /><br />"Hak khusus dari kerajaan...? Hmmm, menarik!" ucap wanita berambut emas itu sambil beranjak pergi setelah melepaskan tangannya dari pinggang sang pemuda. Ia berjalan sedikit jauh dan memperhatikan orang-orang dan kereta-kereta kuda yang lalu-lalang, membawa datang karung-karung dan juga membawa pergi lainnya. Kesibukan yang biasa di gudang-gudang para lumbung.<br /><br />"Bagaimana pendapatmu bila engkau menjadi seorang lumbung..," ucap wanita itu perlahan. Ia mengatakan itu sambil berpikir dan tidak menoleh kepada sang pemuda.<br /><br />"Menjadi seorang lumbung, maksud nionio..?" tanya balik pemuda itu. Ya, menjadi seorang lumbung adalah posisi yang amat diidam-idamkan hampir banyak orang. Kekuasaan yang hampir tak terbatas selain oleh perkumpulan mereka sendiri dan juga kerajaan. Dan yang pasti tak akan kelaparan karena makanan pokok adalah usaha mereka.<br /><br />"Beritakan kepada anak buahmu! Nanti malan aku jelaskan rencanaku di tempat biasa," ucapnya. "Dan sekarang pergilah!" katanya sambil mengebaskan tangannya.<br /><br />Walaupun pemuda itu merasa sedikit tersinggung atas suruhan itu, yang menyiratkan bahwa ia adalah pesuruh dari wanita berambut emas itu, tapi tawaran untuk menjadi seorang lumbung mendinginkan hatinya yang tadi panas. Boleh juga bila itu bisa terwujud. Wanita yang ia tak ragukan kesaktiannya itu sudah tentu punya suatu rencana dan kelihatannya akan melibatkan atau memerlukan dirinya dan teman-temannya. Bergegas ia kemudian berlalu dari sana untuk mengumpulkan anak buahnya yang saat itu umumnya sedang 'bekerja' di toko dan pasar, mengumpulkan 'pajak'.<br /><br />Sepeninggalnya pemuda itu sang wanita berambut emas masih juga memandangi kesibukan para pekerja keluar masuk gudang-gudang jauh di hadapannya itu. Ia terlihat memperhatikan dengan seksama bagaimana proses mereka bekerja dan juga kadang melihat ke sekelilingnya, menanti seseorang.<br /><br />"Lo-kai datang menghadap, nionio!" tiba-tiba entah dari mana muncul seoran pengemis tua berbaju hitam dekil. Rambutnya yang kotor telah menyatu sehingga tampak padat dan berbentuk aneh. Baunya, sudah bisa dipastikan akan beraneka rasa.<br /><br />"Engkau tahu apa yang kupikirkan, Lo-kai?" tanya wanita tersebut kemudian.<br /><br />"Mengambil alih kekuasaan para lumbung?" tebak Lo-kai, "bukan ide jelek, tapi tidak mudah kelihatannya."<br /><br />"Mengapa tidak mudah? Jelaskan, Lo-Kai!" perintah wanita itu.<br /><br />"Urusan persilatan dan perkumpulan bisa dilakukan dengan kekerasan, dan nionio sudah sukses melakukannya di tempat asal dan sekarang sedang juga membuat baru di sini. Tapi urusan dagang ada hal lain. Permainan alur tigaan. Sulit. Tidak selalu berjalan dengan kekerasan walau bisa. Keuntungan tigaan lebih membutakan dari pada tekanan akan pukulan dan tendangan," urai Lo-Kai.<br /><br />"Dan itu semua dari pengalamanmu dulu sebelum ikut denganku, Lo-Kai?" tanya wanita itu balik.<br /><br />"Benar, nionio! Sebelum aku ikut denganmu, aku ada bekerja sebagai salah satu kaki tangan para lumbung. Aku menyediakan bahan-bahan untuk diangkut ke mari. Aku ambil dengan harga murah dari petani dengan tangan besi. Tapi saat berhubungan dengan para pedangang, tidak mudah. Kita kasari, mereka kabur. Kita rugi. Kita lemah, mereka curi untung," jelasnya lagi.<br /><br />Mengangguk-angguk wanita itu mendengar penjelasan Lo-Kai.<br /><br />"Dan usulmu?" tanyanya kemudian.<br /><br />"Buat usaha pemasok bahan-bahan pokok, tapi palsu!" ucapnya kemudian setelah berpikir agak lama.<br /><br />"Palsu usahanya atau bahan-bahan yang dipasoknya?" tanya wanita itu agak tak mengerti.<br /><br />"Tergantung strategi mana yang ingin diluncurkan," jawab Lo-Kai sambil menyeringai.<br /><br />"Aku mencium sesuatu yang tak sedap dalam rencanamu, Lo-Kai!" ucap wanita itu.<br /><br />"Nionio, sebagai Siluman Wanita Rambut Emas, bukan hal begini biasa-biasa saja, hehehe!" kekeh Lo-Kai gembira. Ia senang melihat merengutnya Nionio, yang membuat Nionio tampak lebih cantik bagi mata tuanya.<br /><br />"Tapi aku ingin kita benar-benar dapat menjadi seorang lumbung. Itu posisi penting untuk rencana besar kita. Ingat itu!" ucap Nionio kemudian.<br /><br />"Ya, aku ingat. Tapi engkau juga belum mengatakan sebenarnya apa rencana itu sampai saat ini," ucap Lo-Kai merengut.<br /><br />"Untuk itu engkau harus percaya padaku, Lo-Kai. Tenanglah, engkau pastilah orang kedua yang akan menikmati hasil itu nanti," ucap Nionio meyakinkan.<br /><br />"Hehehe, dah pemuda kekasihmu sekarang..," tanya Lo-Kai asal. Ia ingin menguji Nionio.<br /><br />"Dia...? Dia hanya bidak kecil untuk senang-senang. Kau pun tahu itu, bukan?" jawab Nionio.<br /><br />"Semoga bidak kecilmu itu bisa membantu rencana besar dan tidak menjadi masalah di kemudian hari," ucap Lo-Kai.<br /><br />"Bila ia mengacau.., tinggal dibereskan!" ucap Nionio dingin.<br /><br />Lo-Kai tergelak mendengar hal itu. Nionio ternyata belum berubah. Hanya keuntungan tujuan akhir yang ia pikirkan. Mengorbankan orang sudah menjadi kebiasaannya. Lo-Kai baginya pun selama masih dibutuhkan. Untuk itu ia, Lo-Kai harus menahan informasi yang berguna sehingga Nionio tidak bisa mendepaknya semudah itu dari rencana semula yang ia sendiri belum tahu dengan jelas. Yang pasti rencana itu melibatkan banyak orang, kekuasaan dan kekayaan.<br /><br />"Aku percaya kepadamu, Nionio!" ucap Lo-Kai kemudian.<br /><br />Setelah diam sesaat kemudian Nionio kembali berkata, "Sekarang ceritakanlah rencanamu!"<br /><br />"Baik!" jawab Lo-Kai, "Ada kabar bahwa dalam waktu dekat, tepatnya bulan depan tanggal 15 akan ada pemilihan ketua baru para lumbung, Lumbung Sejati. Kita mungkin bisa ikut dalam pemilihan itu bila cukup waktu untuk mempersiapkan."<br /><br />"Pemilihan Lumbung Sejati?" tanya Nionio. Tertarik hatinya mendengar berita dari Lo-Kai tersebut.<br /><br />"Ya, benar. Dan seorang dari para lumbung berminat amat untuk menang. Keinginannya yang menggebu ini dapat kita tumpangi. Setelah ia menjadi ketua para lumbung, dapat ia membantu kita sebagai utang dukungan untuk mengangkat kita sebagai seorang lumbung. Terlepas dari kemampuan kita berusaha sebagai seorang lumbung atau tidak," jelas Lo-Kai.<br /><br />"Bagus, bagus!!" ucap Nionio.<br /><br />"Hanya saja, dari seorang pengusaha biasa untuk menjadi seorang lumbung, perlu persyaratan. Salah satunya anak buah, jalur perdagangan dan pemsok. Komponen-komponen ini yang harus kita sediakan. Entah asli atau palsu," ucap Lo-Kai sambil mengoret-ngoret tanah menjelaskan. Saat itu Nionio sudah bersamanya jongkok dan manggut-manggut.<br /><br />"Dan siapa nama lumbung ini?" tanya Nionio tiba-tiba.<br /><br />"Untuk itu, Nionio harus percaya kepada Lo-Kai!" jawab Lo-Kai enteng.<br /><br />"Baiklah! Aku percaya kepadamu, Lo-Kai! Tolong atur saja. Dana bisa engkau dapatkan dari aku asal jelas laporanmu," ucapnya kemudian setelah sedikit berpikir. Rupanya ia mendapat rekan yang sebanding licik dan cerdiknya. Lo-Kai harus hati-hati dihadapi. Saat mencapai tujuan, bisa mereka berteman. Saat berjaya nanti, bisa-bisa dia menggunting dalam lipatan atau menohok dari belakang. Tapi Nionio hanya tersenyum, "Lakukan apa yang engkau pikir baik untuk kita!"<br /><br />Lo-Kai mengangguk, membungkuk sedikit dan lalu hilang dari sana.<br /><br />"Ginkangnya pun tidak boleh dibuat main-main," ucap Nionio demi melihat cara Lo-Kai hengkang dari sana. Ia sendiri belum pernah menjajal mati-matian kepandaian pembantunya itu. Hanya dari pekenalan pertama, kepandaian mereka kira-kira setingkat. Hanya kelebihan ilmu silat rambut emasnya yang aneh yang membuat Lo-Kai menyeganinya. Tapi ia merasa bahwa untuk pertarungan yang berlangsung lama, kelebihannya ini tak banyak akan mengungguli Lo-Kai yang ilmu meringankan tubuhnya setingkat di atasnya.<br /><br />"Nionio, aku telah selesai memberitakan pertemuan nanti malam!" ujar pemuda yang tadi pergi.<br /><br />"Tiong Pek, bagus kerjamu!" ucap Nionio senang. Lalu lanjutnya, "Sekarang marilah kita nikmati waktu yang tersisa sebelum malam nanti berdua saya!"<br /><br />Tak bisa menolak Tiong Pek, pemuda itu hanya mengangguk mengiyakan. Menelan ludah ia saat menyatakan setuju tadi. Terbayang sudah pergulatan-pergulatan yang ia alami sejak bersama-sama dengan Nionio, si Siluman Wanita Rambut Emas. Beberapa anak buahnya menasehatinya agar hati-hati. Tapi ia tidak peduli. Selain kenikmatan juga kepandaian silat diturunkan Nionio kepadanya. Dengan itu ia akan dapat mengalahkan Kiang Hu, pemuda yang pernah mengalahkannya itu.<br /><br />"Nionio!! Ahh!!" ucap pemuda itu yang tak tahan akan belaian Nionio yang menelusup sana-sini dalam bagian dalam bajunya. Bersamaan ia pun mulai membelai-belai dan mencium sana-sini.<br /><br />"Tiong Pek, ahh!! Engkau makin pandai sekarang!!" ujar Nionio yang segera merangkulnya penuh dan mengenjot langkahnya, pergi dari tempat itu ke suatu tempat di mana mereka bisa menghabiskan sedikit waktu hari itu bersama-sama. Mereguk kenikmatan yang entah hak mereka atau bukan. Mereka tidak lagi peduli. Satu butuh yang lain, walaupun dengan alasan yang berlain-lain.<br /><br />Sementara itu seorang pemuda tampak tiba sekejap setelah Tiong Pek dan Nionio pergi dari sana. Ia hanya sempat melihat kelebatan bayangan mereka berdua. Gumamnya kemudian, "Ah Pek-ko kembali sibuk dengan perempuan itu. Padahal ada kabar yang harus disampaikan. Sudahlah, nanti malam saja aku kasih dia tahu."<br /><br />Pemuda itu pun kembali ke arah ia tadi datang. Langkahnya pelan-pelan seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Tak dilihatnya seorang mengikutinya perlahan di atas pohon dan di atas bangunan di samping mana ia berjalan.<br /><br />Sesekali pemuda itu menoleh, ia merasa ada yang mengikuti. Tapi kepandaiannya yang rendah membuat ia tak bisa mencerna nalurinya. Ia pun kemudian mengabaikan perasaan itu dan terus berjalan. Sampai di suatu tempat ia benar-benar merasakan kembali kehadiran seseorang di belakangnya, akan tetapi saat ia menoleh terlambat sudah. Sebuah totokan membuatnya kaku dan seberkas bubuk yang diciumkan di hidungnya membuatnya semaput dan pandangannya pun menjadi gelap.<br /><br />"Bagus, bagus!! Menarik, menarik!!" seru orang yang kemudian memanggul pemuda yang pingsan itu. "Satu boneka sudah didapat. Berita bisa gampang dikorek dan bocor. Hehehehe, enak hidup jadi pemburu berita!"<br /><br />Gelak tawanya terdengar meninggi dan kemudian hilang bersamaan dengan lenyap sosoknya dari tempat itu.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-22711379725837994652007-08-10T18:08:00.001+02:002007-08-10T18:08:59.458+02:00Perkumpulan Para Lumbung"Kamu lihat Lumbung 1?" tanya seorang berpakaian rapih dengan tangan mengepit tumpukkan kertas-kertas.<br /><br />"Oh, pak bos? Ada di dalam sama pak bos 2," jawab pekerja itu sambil menunjuk ke dalam sebuah bangunan besar dan berlangit-langit amat tinggi. Menjulang kaku dan suram. Dindingnya telah kusam.<br /><br />"Lumbung 2 juga di sini?" ucap orang itu agak heran. "Terima kasih!" katanya kemudian sambil meninggalkan pekerja yang kembali melanjutkan tugasnya mengangkut karung-karung beras dan jagung serta biji-bijian lainnya keluar dan masuk gudang-gudang.<br /><br />Bergegas orang itu berjalan menuju bangunan yang tadi ditunjuk oleh pekerja itu. Pintu besi yang tingginya hampir tiga kali orang dewasa tampak terbuka setengahnya. Tidak terlalu lebar sehingga orang bila berhadapan langsung dan lurus tidak bisa lalu melihat isinya. Tapi dari samping jelas terlihat orang-orang tampak bekerja di dalamnya.<br /><br />"Ada perlu apa? Dan dengan siapa?" tiba-tiba muncul seorang penjaga bertubuh kekar yang diikuti oleh beberapa temannya. Terlihat bahwa mereka masih keringatan dan tampak ada yang memegang gelas berisi air. Habis makan siang rupanya. Seseorang juga terlihat menyeka keringat pada dahinya.<br /><br />"Mencari Lumbung 1 dan Lumbung 2," ucap orang itu pendek.<br /><br />"Mereka sedang sibuk. Sedang makan siang," ucap penjaga itu pendek. Tampak bahwa mereka tidak mengijinkan sembarang orang untuk bertemu dengan majikan mereka.<br /><br />"Tak apa," ucap orang itu pelan, ".. tapi aku tak bisa menunggu.." Dan belum hilang gema suaranya ia bergerak cepat mencabut kertas-kertas yang dikepitnya. Dilemparkannya sedemikian rupa sehingga berbentuk kaku dan melayang berputar menerjang keempat orang yang menghadangnya itu.<br /><br />"Crattt!! Syett!!" dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan saat telinga kiri masing-masing penjaga itu jatuh ke lantai akibat putus disabet oleh kertas-kertas yang dilemparkan.<br /><br />Dan sebelum mereka sempat terlepas dari rasa sakitnya itu, orang itu kembali bertindak. Tangannya bergerak cepat bagai berbayang seribu dan menotok sana-sini. Keempatnya pun terdiam bagai patung dengan telinga kiri masing-masing meneteskan darah pada lubannya.<br /><br />"Apaaa!! Siapa kamu!!" tiba-tiba seorang bertubuh tambun dan berkepala botak muncul di balik tumpukan karung-karung biji-bijian bahan makanan. Ia tampak kaget dan segera menjadi pucat saat melihat keadaan keempat penjaganya. Tapi sebelum ia sempat berlari menjauh tubuhnya telah menjadi kaku.<br /><br />Orang itu tidak berhenti sampai di sana, ia segera bergerak cepat mengitari gudang-gudang itu dan melumpuhkan semua penjaga yang ada. Dalam kembalinya ia membawa seorang yang mirip dengan orang yang terakhir di totoknya. Lumbung 2 dan Lumbung 1 sekarang berdiri kaku di depannya. Keringat dingin tampak mengucur deras di leher dan dahi mereka.<br /><br />"Aku tak perlu bicara banyak, bukan?" ucap orang itu yang tidak lagi mengepit kertas-ketasnya. Sebagian telah digunakannya sebagai senjata dan sebagian lain dibiarkannya berhamburan.<br /><br />Ia tampak berpikir sejenak untuk kemudian duduk. Saat dilihatnya terdapat beberapa makanan yang belum disentuh oleh kedua orang yang ada di hadapannya, ia pun mengambilnya dan mulai makan. "Terima kasih atas makan siangnya," ucapnya pendek. Yang diucapkan terima kasih sudah tentu tak bisa berbuat apa-apa.<br /><br />Sambil mengunyah ia menuliskan sesuatu pada kertas-kertasnya. Sembarang lembar dipilih dan ia tulis apa yang terlintas di benaknya. Kadang kesal dan ia remas-remas kertas tersebut lalu dibuangnya. Saat puas ia membacanya sekali lagi dan menempatkannya pada suatu tumpukan dan memulai dengan lembar yang baru.<br /><br />"Selesai!!" ucap orang itu kemudian.<br /><br />Lalu ia bergegas membawa kertas-kertas yang ia puas tuliskan menuju para penjaga yang tadi telah ditotok dan kehilangan telinganya. Empat di dekat pintu masuk dan lainnya di berbagai tempat dalam gudang besar itu. Dengan cara tertentu ia membuat kertas tersebut bisa menyelip pada telinga yang lain, yang belum dipotong. Menyebabkan kertasnya, berisikan tulisan-tulisan menempel pada telinga para penjaga.<br /><br />Kemudian ia berbalik kepada kedua orang yang merupakan majikan dari para penjaga-penjaga itu.<br /><br />"Sekali lagi kudengar kikirmu kepada para pekerja dan orang-orang yang berhutang," katanya sambil melotot lembut kepada mereka, "aku akan kembali menuliskan lagi puisi tentang perbuatan-perbuatan jahat kalian."<br /><br />Lalu ia mengambil dua buah lembar tulisan yang tersisa dan menempelkannya pada jidat kedua orang itu. Khusus kedua orang itu, telinga mereka tidak dipotong melainkan dibiarkan saja.<br /><br />Lalu ia pergi dengan melenggang dari sana meninggalkan orang-orang yang membisu dalam totokan dan ketakutan. Ia sengaja keluar dari pintu lain sehingga tidak ada pekerja atau penjaga lain yang tahu kepergiannya. Selang berapa lama tempat itu menjadi geger karena hal tersebut. Dan tulisan-tulisan pada kertas yang ditempelkan baik pada telinga penjaga ataupun jidat majikan mereka menjelaskan secara samar-samar dalam puisi sebab-musabab tindakannya itu.<br /><br />***<br /><br />"Orang itu... Pujangga Sinting... harus dibereskan!!" ucap seorang bertubuh tambun dan berkepala botak sambil mengepalkan tangannya.<br /><br />Ucapannya itu disambut dengan anggukan beberapa orang yang duduk mengitarinya dalam ruagnan besar itu. Beberapa dari mereka tampak pula pucat saat mendengar nama orang disebutkan itu.<br /><br />"Lumbung 1, sabar.. sabar!!" ucap seorang yang duduk di dekatnya.<br /><br />"Tidak, Lumbung 8! Sekarang sudah saatnya kita menangkap orang itu," ucapnya berapi-api. "Ia telah menggangguk kenyamanan usaha kita dan harus dibereskan."<br /><br />Beberapa gumaman setuju dan tak setuju tampak mengambang di udara, mengasilkna dengungan mirip ribuan tawon yang beterbangan.<br /><br />"Tokkk!!! Tokk!!" suara sebuah tongkat besar menggema saat menutuk lantai batu dalam ruang itu, menghentikan keributan itu. Semoga pun menoleh melihat siapa yang datang.<br /><br />"Lumbung Sejati!!" ucap beberapa orang hampir bebarengan.<br /><br />Orang yang disebut itu berjalan dengan agak susah payah dengan tongkatnya yang besar. Ia tampak sulit menggerakkan kakinya, tapi tetap berusaha berjalan. Setelah beberapa saat ia pun duduk di bangku yang masih kosong di tengah ruangan itu. Diapit oleh orang-orang yang telah ada terlebih dahulu.<br /><br />"Pangeran Ketujuh mengirimkan salam," ucapnya tenang. "dan ia menanyakan apakah kita butuh bantuannya untuk menyelesaikan masalah kita."<br /><br />Gumaman kembali terdengar, tapi kali ini lebih pelan. Tampaknya masih tampak keragu-raguan antara mereka untuk menerima uluran tangan orang yang disebut sebagai Pangeran Ketujuh itu.<br /><br />"Kita perlu membicarakannya, Lumbung Sejati..," ucap orang yang tadi dipanggil Lumbung 8.<br /><br />"Betul.., betul sekali!!" ucap yang lain.<br /><br />Lumbung sejati hanya mengangguk pelan. Tampaknya agak sulit bagi ia untuk banyak dan segera berucap.<br /><br />"Apa imbalan yang harus kita berikan kepada Pangeran Ketujuh atas bantuannya?" ucap Lumbung 1 tiba-tiba. Ia tidak melihat ada gunanya untuk berbelit-belit. Semua orang pun telah tahu bahwa Pangeran Ketujuh tampak sedang menggalang kekuatan untuk memenangkan pemilihan raja berikutnya. Diantara anak-anak raja yang sekarang ia sebenarnya tidak termasuk yang disukai, akan tetapi dengan janji-janjinya banyak telah kelompok-kelompok yang menyatakan dukungannya.<br /><br />"Dukungan tentunya," ucap Lumbung Sejati.<br /><br />Semuanya terdiam. Ya, perkumpulan para lumbung adalah kelompok orang-orang yang berkuasa dalam hal perdagangan makanan di kota Kern. Mereka mengendalikan aliran pangan dari dan ke kota Kern. Dan makanan adalah elemen penting dalam kehidupan. Siapa yang bisa menguasainya, bisa menghancurkan suatu kota atau malah membangunnya.<br /><br />"Kita selama ini bebas.., tidak memihak!" ucap seseorang.<br /><br />"Ya.., kita punya hak-hak khusus! Tak perlu memihak!!" ucap yang lain.<br /><br />"Benar.., itu benar!!" ucap Lumbung Sejati lemah. "Tapi gangguan Pujangga Sinting akhir-akhir ini sudah menyulitkan kita. Para pekerja jadi berani menuntut imbalan yang lebih tinggi dan juga waktu kerja yang manusiawi menurut mereka. Malas, orang-orang itu malas!!"<br /><br />Mengangguk-angguk para lumbung yang mendengar hal itu. Ya, mereka setuju. Pekerja hanya perlu mendapat gaji kecil, sesuap nasi dan bekerja sepanjang hari. Kalau perlu juga sedari matahari terbit dan sampai langit gelap. Itu pekerja yang mereka butuhkan. Bekerja giat dan tidak mengeluh. Perbuatan Pujangga Sinting akhir-akhir ini membangkitkan semangat para pekerja untuk berkumpul dan menentang para majikan pemilik gudang, para lumbung.<br /><br />"Ada dua jalan keluar," ucap Lumbung Sejati kemudian, "menuruti kemauan orang-orang malas itu, yang belum jelas sampai di mana batasnya atau..," ia tampak mengambil napas dan kemudian melanjutkan "menambah jumlah para penjaga dan melakukan disiplin keras."<br /><br />Usul terakhirnya itu tampak membuat beberapa lumbung berkilat matanya. Ya, mereka telah pula menghitungnya. Menambah jumlah penjaga akan jauh lebih murah dan mudah daripada menaikkan gaji atau menuruti kemauan para pekerja yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bagi mereka para pelaku usaha, yang penting keuntungan bisa berlipat dengan pengeluaran sesedikit mungkin.<br /><br />"Tapi yang kita tidak tahu adalah berapa jumlah Pujangga Sinting. Karena dari peristiwa-peristiwa terakhir terlihat bahwa ia bisa menyerang beberapa gudang lumbung dalam satu hari di beberapa tempat hampir bersamaan. Para paturan yang datang kemudian juga tak bisa menemukannya," ucap Lumbung Sejati.<br /><br />"Dan tawaran Pangeran Ketujuh?" ucap seorang dari para lumbung.<br /><br />"Jäger..," ucap Lumbung Sejati pelan.<br /><br />Para pendengarnya agak-agak pucat mendengar usulan itu. Jäger atau para pemburu bayaran adalah sesuatu yang cukup mahal bagi mereka, bahkan sebagai pemilik gudang lumbung. Hanya orang-orang kerajaan atau partai-partai persilatan besar yang biasanya menggunakan jasa mereka. Selain mahal, juga mereka banyak tingkahnya dan berkepandaian tinggi. Hanya kepada kerajaan, yang masih mereka hormati dan partai persilatan, mereka tunduk dan menghormat. Golongan mereka, para lumbung, sebagai pelaku perdagangan tidak terlalu dianggap, karena para Jäger umumnya tidaklah terlalu membutuhkan uang.<br /><br />"Tapi..," ucap seorang dari mereka.<br /><br />"Jaminan Pangeran Ketujuh yang akan menjadi pengikat permintaan ini. Tidak kepada kita," jelas Lumbung Sejati.<br /><br />Beberapa suara lega tampak terlihat jelas. Perjanjian dengan seorang Jäger apabila dipungkiri bisa berakibat kematian. Sebelum tugas mereka selesai mereka tidak bisa dibatalkan karena menyangkut harga diri mereka. Dan tugas yang berlangsung lama dan sulit sudah pasti membuahkan tagihan yang mencengangkan, sekalipun bagi para lumbung.<br /><br />"Pangeran Ketujuh punya cukup keyakinan untuk memenuhi permintaan kepada seorang Jäger, dan ia yakin Pujangga Sinting dapat segera ditangkap," jelas Lumbung Sejati.<br /><br />Mengangguk-angguk para lumbung di sekelilingnya.<br /><br />"Baiklah, jika demikian kami setuju!" ucap seseorang dari mereka, "Dan soal dukungan, sejauh tidak menghalangi usaha dan memberatkan pajak, kelihatannya masih menguntungkan."<br /><br />Rekan-rekannya mengangguk mengiyakan. Dan akhirnya mereka pun menemukan kata sepakat.<br /><br />"Selain itu," lanjut Lumbung Sejati, "saya ingin meletakkan jabatan saya sebagai pengetua para lumbung dengan mengadakan pemilihan baru. Terlihat bahwa urut-urutan nomor kalian pun telah tidak sesuai dengan pendapatan kalian."<br /><br />Ucapan itu tentu saja mengagetkan mereka. Jarang-jarang ada seorang yang ingin melepaskan posisi Lumbung Sejati, lumbung yang dituakan dan menerima bagian dari para lumbung di bawahnya. Segera saja muncul gumaman-gumaman yang lebih keras ketimbang permasalahan sebelumnya.<br /><br />"Sebagai Lumbung Sejati saya menetapkan bulan depan tanggal 15 untuk pemilihan itu. Masing-masing lumbung harap membawa laporannya dan akan diperiksa bersama-sama dan dipilih yang terbaik," ucapnya kemudian sambil menghentakkan tongkatnya. Menutup rapat.<br /><br />Mereka pun kemudian bubar dari ruang tersebut.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-12624852324267248732007-08-01T18:50:00.000+02:002007-08-01T18:51:12.953+02:00Siluman Wanita Rambut Emas"Degggg!!! Desss!!!" sebuah sikut dan dengkul secara bersamaan mengenai dada dan wajah seorang pemuda yang langsung terjengkang dan hidungnya mengalirkan darah. Ia tidak lagi bergerak-gerak. Sudah pingsan nampaknya.<br /><br />"Hebat Kiang Hu!!" ucap seseorang di dekatnya. "Engkau dapat menghajar orang itu dalam satu kali serangan."<br /><br />Yang dipuji tampak cengagas-cengeges senang. Ia kemudian mengajak kedua temannya berlalu dari sana.<br /><br />Setelah ketiganya tak tampak lagi baru beberapa teman pemuda yang pingsan itu berani beranjak dari tempat mereka tadi berada dan mengguncang-guncangkan bahu sang pemuda, "Ketua..., ketua...!!"<br /><br />"Wah payah nih, ketua kita sudah dikalahkan dengan mudah oleh pemuda itu," ucap seorang dari mereka. "Kita harus menuntut balas!"<br /><br />"Benar!" sahut salah seorang dari mereka yang segera diamini oleh yang lain.<br /><br />"Tapi jika ketua saja sekali gempur sudah kalah..," meragau salah seorang dari mereka. Akibatnya yang lain juga menjadi tidak yakin. Di antara mereka memang ketua mereka yang paling kuat dan jago berkelahi. Oleh karena itu pemuda yang pingsan itu diangkat sebagai ketua dair mereka.<br /><br />"Ya sudah, ayo kita bawa ketua," usul seseorang, "kita bicarakan nanti saja setelah ia siuman."<br /><br />Bersama-sama mereka kemudian membawa pemuda yang pingsan itu ke sarang mereka dan menunggunya sadar.<br /><br />Tempat yang sama beberapa hari kemudian.<br /><br />Seorang muda tampak duduk termenung. Lebam masih terlihat pada wajahnya. Kepalanya masih dirasakannya pusing sedikit. Semuanya adalah sisa perkelahiannya beberapa hari yang lalu.<br /><br />"Kiang Hu..," desisnya pelan nama yang mengalahkannya kemarin. Dan bukan hanya itu yang mengganggunya, melainkan bahwa ia dikalahkan hanya dalam satu serangan yang mengejutkan. Ia ketua dari gerombolan anak-anak muda di salah satu lorong di kota itu. Kota Kern. Banyak anak-anak muda lain yang takut dengan gerombolan mereka karena banyak anggotanya. Dan ia yang berhasil menjadi ketua saat ini, dengan mudah dapat dibuat pingsan. Benar-benar penghinaan yang ia tidak bisa terima.<br /><br />"Dengan kemampuan hanya seperti ini.., memang kamu hanya perlu satu jurus untuk dijatuhkan," ucap sebuah suara jernih merdu dengan nada mengejek.<br /><br />Pemuda itu tersentak kaget karena tak menyangka bahwa di pelataran rumah yang ia pikir hanya ada dirinya sendiri, karena teman-temannya sedang meminta dengan paksa makan siang untuknya di pasar. Pemilik suara itu tampak berjalan dengan lemah gemulai. Cantik, tinggi dengan rambut berwarna emas yang digerai. Langkahnya yang menggoda bisa membuat siapa saja meloncat jantungnya bila tidak mengalihkan perhatian dari bagian yang berayun ke sana-kemari. Tapi bagi pemuda itu yang mendongkol dengan perkataan wanita tersebut, tidaklah pesonanya yang menggoda bisa membuatnya mereda. Ia semakin kesal karena yang mengucapkannya adalah seorang wanita. Seorang yang ia remehkan dalam hal kekerasan secara fisik.<br /><br />"Hehh!! Apa kamu bilang!!" bentaknya. Ia tak takut dengan wanita tersebut, yang ketenangannya seharusnya mengganggunya. Tapi kemarahan ternyata telah membutakannya.<br /><br />"Plakk!!!" tiba-tiba sebuah tangan halus telah menempel dengan cepat dan halus pada pipinya. Akibatnya telah diduga, sebercak telapak tangan berwarna merah muda menyala di sana.<br /><br />Pemuda itu berteriak dengan keras dan mulai menyerang. Harga dirinya yang telah terluka beberapa hari lalu atas kekalahannya oleh Kiang Hu meledak dalam kemarahan, terlebih dihina oleh seorang wanita. Dan cantik lagi.<br /><br />Tapi alih-alih ia bisa mengenai tubuh wanita tersebut dengan pukulan ataupun tendangannya, ia malah dihujani pukulan, usapan, cubitan, cakaran dan tendangan. Sudah tidak lagi berbentuk baju dan tubuhnya. Bolong sana sini dan bilur-bilur kebiruan, merah dan juga lecet sana-sini.<br /><br />"Twako!!" ucap seseorang.<br /><br />"Ketua!!" ucap lainnya.<br /><br />Belasan pemuda tampak memasuki pelataran rumah itu. Mereka menyaksikan bahwa ketua mereka telah menjadi bulan-bulanan seorang wanita cantik. Wanita yang tingginya lebih dari rata-rata wanita di daerah itu. Rambutnya yang berwarna emas juga menandakan bawah ia bukan asli daerah itu.<br /><br />"Hehehehe...!! Sekarang rasakan dirimu akan hancur oleh anak buahku," ucap pemuda yang telah hancur lebur penampilannya itu dengan yakin. Belasan lawan satu, pasti ia memang. Saat melawan Kiang Hu ia hanya membawa sedikit teman, dan bukan yang jago berkelahi, melainkan yang cepat ciut nyalinya. Tapi saat ini wakil-wakilnya telah ada semua di sini. Dan dengan mereka semua wanita yang berdiri di hadapannya tak akan punya kesempatan untuk menang.<br /><br />"Hik-hik-hik!!" tertawa genit wanita berambut emas tersebut. "Dari mana muncul keyakinan besarmu itu?"<br /><br />"Lihat saja!! Serang!!" ucap pemuda itu yang segera mundur untuk memberikan kesempatan pada teman-temannya untuk menyerang.<br /><br />Berpuluh-puluh pukulan dan tendangan tampak mengisi ruang berlomba-lomba menyentuh tubuh wanita tersebut yang meliuk-liuk gemulai. Entah bagaimana gerak-gerik yang menarik itu bisa mengelakkan pukulan dan tendangan yang akan datang padannya, alih-alih keras serangan-serangan itu tampak tertahan dan hanya mendarat dengan empuk.<br /><br />"Ahhh!! Enakk!! Ayo lagi pijatannya!" ucap wanita itu dengan senyumnya yang menggoda. Ia tampak menikmati tendangan-tendangan dan pukulan pemuda-pemuda yang mengelilinginya. Keruan saja hal itu membuat para lawannya semakin marah karena merasa dihina.<br /><br />Tapi semakin mereka bersemangat menyerang, semakin besar pula tenaga yang mereka harus keluarkan dan tidak menghasilkan apa-apa. Kembali wanita tersebut hanya berteriak-teriak kegelian dengan genitnya. Menggoda pemuda-pemuda yang akhirnya terduduk dengan kelelahan dan keringat bercucuran.<br /><br />"Jaring!!" tiba-tiba ketua pemuda-pemuda itu berteriak. Pada saat yang bersamaan kawan-kawannya segera bergulir mundur dan meninggalkan wanita berambut emas itu sendiri di tengah pelataran. Sebuah jaring besar tampak dilemparkand dari wuwungan rumah dengan empat orang turun membentangnya.<br /><br />Wanita berambut emas itu dengan tenangnya hanya memutar tangannya dan mendengus lalu bagai ditiup angin keras keempat orang yang memegang jaring itu bagai terpilin oleh tenaga tak kelihatan dan terlibat oleh jaring yang mereka bawa. Dengan berdebum keempatnya jatuh dan tergulung rapi dalam jaring yang seharusnya diperuntukkan kepada wanita tersebut.<br /><br />"Masih ada lagi?" ejek wanita tersebut. Dari suaranya yang agak berubah terlihat bahwa ia kagum atas siasat licik para pemuda itu.<br /><br />"Asap!!" tiba-tiba kembali ketua para pemuda memerintahkan. Dan bola asap pun menyerang dari berbagai arah, berwarna-warni. Dari baunya bisa dipastikan bawah mereka beracun.<br /><br />"Bagus!!" ucap wanita itu. Dan seperti tadi ia mengerakkan tangannya kali ini juga langkahnya meloncat pelan memutar dan kemudian tinggi ke atas. Akibat gerakannya itu asap-asap yang tadi dilontarkan melaui lemparan bola-bola terperangkat dan membentuk semacam tiang berwarna-warni. Lalu dengan sebuah hentakan tiang itu buyar dan menyerang ke segaala arah, ke tempat di mana para pemuda berada. Mereka pun menjerit kesakitan karena tak menyangka bahwa asap beracun itu menjadi senjata makan tuan.<br /><br />"Tahan!!" ucap sang pemuda itu sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan yang telah dibasahkan sejenis pemudah racun. "Apa maumu?" katanya sambil menyuruh teman-temannya yang tidak teracuni untuk mengobati yang tampak kejang-kejang dan menjerit-jerit kesakitan.<br /><br />"Aku suka sikapmu," jawab wanita itu tak menjawab pertanyaan sang pemuda, "kalau aku, sudah kubiarkan mereka mati."<br /><br />Ucapan dingin wanita itu menggetarkan hati sang pemuda. Ia tidak ada rasa kasihan atas teman-temannya dan mereka akan saling hantam untuk memperebutkan kedudukannya. Tapi membiarkan mereka mati dan tidak punya lagi kekuasaan, tidak akan ia lakukan hal itu. Ia menyelamatkan mereka bukan karena kasihan tapi karena kepentingannya juga.<br /><br />"Itu bukan urusanmu! Aku tanya, apa maumu?" tanyanya lagi.<br /><br />"Aku tertarik dengan perseteruanmu dengan pemuda yang mengalahkanmu itu," jawabnya genit. "Engkau terlihat gagah, walaupun kalah."<br /><br />Tak memperdulikan ejekan itu, kembali ia bertanya, "Kiang Hu? Apa hubunganmu dengan dia?"<br /><br />"Hubunganku dengan dia, itu urusanku. Urusanmu adalah membalaskan kekalahanmu, bukan?" jawab wanita itu lagi. Saat mengucapkan itu ia tampak menilai dengan teliti tubuh pemuda di hadapannya. Dipandangi jari-per-jari dari muka hingga ujung kaki. Tak terasa ia meleletkan lidahnya dan mendesah pelan, "tubuh yang bagus...!!"<br /><br />Merah wajah pemuda itu mendengar ucapan pelan wanita itu dan juga cara pandangnya yang seakan-akan menilai dirinya seperti barang saja. Ia pun kembali berkata untuk mengusir jengahnya, "Bagaimana engkau dapat membantuku?"<br /><br />"Dengan suatu imbalan tentunya..," ucap wanita itu lagi. Kali ini ia sudah tidak malu-malu lagi dan mulai membelai-belai kepada sang pemuda yang tingginya hanya sebahunya. Mau tak mau dalam jarak sedekat itu sang pemuda terpaksa berhadapan dengan dada membusung sang wanita yang dibalut oleh bajunya. Pikirannya pun mulai liar berkelana kemana-mana.<br /><br />"Aku tahu apa pikiranmu," berkata wanita itu. Tampak bahwa ia telah berpengalaman dengan lelaki sehingga langsung bisa membaca perubahan nada dan cara pandang pemuda itu. "Bila engkau setuju, aku akan mengajarimu menghadapi lawanmu dan tubuhmu milikku."<br /><br />Pemuda itu hanya bisa mengangguk. Ia kelihatan sudah hilang sadarnya. Membalaskan dendam kekalahannya menjadi nomor dua. Berduaan dengan wanita tinggi berambut emas ini adalah yang mengisi benaknya sekarang. Ia benar-benar sudah tidak ingat apa-apa saat ia dibawa pergi dan meloncat bagai terbang oleh wanita itu. Teriakan-teriakan teman-temannya sudah tidak lagi didengarnya.<br /><br />"Heii!! Twako, mau ke mana?" teriak seseorang.<br /><br />"Tunggu, ketua!!" ucap yang lain.<br /><br />"Hehehe.., biarkan saja ketua kalian itu. Ia pasti sedang bersenang-senang sekarang dengan Siluman Wanita Rambut Emas," kekeh seorang pengemis yang tampak sedang memperhatikan tempat itu. Tidak tahu kapan orang itu datang ke sana.<br /><br />"Pergi!! Mau apa engkau di sini!" ucap seorang dari mereka.<br /><br />"Baik.. baik.., aku pergi!" ucapnya menggerutu. "Pemeras pasar kok mengusir pengemis? Sama-sama orang-orang tidak berguna seharusnya tidak boleh saling mendahului," ucapnya jengkel.<br /><br />Untung saja ucapan itu sudah jauh dari para pemuda, jika tidak bisa saja pegemis itu menjadi bulan-bulanan mereka yang baru saja kesal karena kekalahan mereka oleh wanita itu dan juga hilangnya ketua mereka.<br /><br />"Sepasang naga sudah remaja,<br />Siluman Wanita Rambut Emas sudah berjaga,<br />Awan hitam mulai terlihat,<br />Bencana oh bencana,<br />kapankah engkau tiba..??"<br /><br />Dengan suaranya yang serak kembali pengemis itu melantunkan puisi yang sama dengan nada yang berbeda-beda. Suaranya semakin jauh dan kemudian menghilang, meninggalkan pera pemuda yang bagai kehilangan induknya itu.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-82852866768902896702007-08-01T17:28:00.001+02:002007-08-01T17:28:45.556+02:00Pengangkatan Saudara"Bagaimana menurutmu anak itu?" tanya seorang tua kepada wanita, yang pula telah lanjut, yang duduk di sebelahnya.<br /><br />"Baik bakatnya, dan juga sikapnya.. Asupasu amat menyayanginya," jawab wanita tua itu.<br /><br />Suara teriakan anak-anak tampak memenuhi hari yang cerah itu. Mereka bermain-main di atas pelataran batu yang luas, yang pada salah satu sisinya dibatasi oleh dinding batu menjulang tinggi dan di sisi lain tebing dalam menganga. Di dinding yang menjulang tinggi tersebut terdapat banyak lubang-lubang hitam yang berfgunsi sebagai jendela rumah. Perkampungan orang-orang Gua Susun Utara.<br /><br />Di sana di jendela sebuah rumah tampak dua orang tua itu masing saling berbicara. Mereka melihat lagi ke bawah, ke arah anak-anak yang sedang bermain dengan gembira. Berteriak-teriak dan saling mengejar.<br /><br />"Yang aku tanyakan adalah pendapatmu, Pek Liong Nionio! Bukan pendapat Asupasu..," ucap orang tua itu geli. Lama bergaul dengan Pek Liong Nionio telah kenal ia bahwa wanita tersebut kadang sering menjawab dengan menggunakan orang lain, untuk menyembunyikan sikap atau pendiriannya.<br /><br />"Musti aku katakan, Hek Liong Kongkong?" ucapnya sambil tersenyum. Ia yakin rekannya itu tahu apa yang ia rasakan, jadi tak perlu menjawab selugasnya.<br /><br />"Tidak. Dari sikapmu pertama kali menerima anak itu dan ibunya, aku tahu bahwa engkau setuju anak itu menjadi pewaris ilmu kita berdua," ujar Hek Liong Kongkong sambil melihat menerawang. Jika benar anak itu yang dimaksud maka darah naga yang mereka berdua warisi dapat dilanjutkan ke anak tersebut.<br /><br />Kedekatan antara sesama orang yang membawa darah Dahtula membuat mereka merasa yakin bahwa anak tersebut adalah sejenis dengan mereka. Dahtula adalah makhluk yang unik, selain dapat berkembang biak antar sesamanya, ia pun dapat menitipkan benihnya kepada manusia. Tepatnya Dahtula jantang menitipkan sepasang benihnya pada seorang wanita. Tapi tidak seperti halnya Dahtula betina yang langsung dapat menerima benih dan menumbuhkannya, seorang manusia tidak. Wanita yang dibuahi oleh Dahtula akan hanya membawa darahnya dan tidak langsung menghasilkan sesosok Dahtula muda. Baru bebeberapa keturunan di bawahnya, bila cocok keadaannya, sesosok Dahtula akan lahir dari rahim seorang pasangan pembawa darah naga.<br /><br />Hek Liong Kongkong dan Pek Liong Nionio, dari namanya saja yang sudah mengambil kata Liong atau naga, adalah dua orang pembawa darah naga, tapi mereka sudah memutuskan untuk tidak menikah dan mempunyai keturunan, demi untuk mengolah kemurnian hawa dalam darah naga mereka sebagai landasan ilmu beladiri khas kaum pembawa darah naga. Suatu kaum yang sudah lama punah sejak para Dahtula bebas lagi untuk berkembangbiak. Tapi akhir-akhir ini kembali marak barang-barang yang terbuat dari tubuh Dahtula, sehingga kehidupan para naga ini kembali terancam. Hek Liong Kongkong dan Pek Liong Nionio boleh dikatakan adalah pembawa darah naga pertama dalam masa ini sejah kaum yang lama hilang. Dengan sembunyi-sembunyi mereka berusaha mencari orang-orang yang telah dibuahi oleh Dahtula dan ingin menurunkan ilmu simpanan mereka. Secara kebetulan mereka menemukan Thio Khi dan ibunya Yang Ling Ie di Lorong Utara saat dikejar-kejar oleh Su Siaw Mo dan Yeti Kelam. Dengan pertolongan seorang Tohbatu bernama Asupasu, Thio Khi dan ibunya dapat diselamatkan. Bahkan Asupasu pun langsung ingin menjadi kakak angkat dari Thio Khi kecil tersebut.<br /><br />Thio Khi yang saat itu sudah berumur tujuh tahun lebih tampak gembira berlari-lari ke sana kemari bersama-sama anak-anak penghuni Gua Susun Utara. Berlari-lari mereka dengan cekatan naik dan turun batu-batu cadas dengan mudah. Kaki mereka yang tumbuh tak beralas dengan suatu ramuan dibuat menjadi tebal dan mudah lengket dengan batu sehingga tidak mudah tergelincir saat meloncat ke sana-kemari. Ramuan tersebut diinspirasikan dengan kemampuan alamiah Tohbatu yang mampu memanipulasi keberadaan benda-benda padat seperti tanah dan batu. Makhluk yang termasuk dalam roh-roh tanah seperti halnya Troll dan Manusia Tiga Kaki.<br /><br />Tak jauh dari sana tampak sesosok Tohbatu berdiri di atas batu dan memperhatikan mereka bermain. Asupasu. Ia dalam waktu dekat akan meresmikan hubungan antara kakak dan adik angkat dengan Thio Khi. Tepat saat bocah tersebut berumur tujuh tahun lebih dan waktu bulan gelap. Dan itu dalam beberapa hari ini.<br /><br />"Heii Thio Khi...," ucap seorang anak yang sedang berlari dan meloncat mengiringi ia ke sana-ke mari, "kapan upacara pengangkatan saudara antara engkau dan Asupasu?"<br /><br />"Kata kakek Hek Liong.. masih empat hari lagi...," ucapnya sambil memacu larinya agar temannya itu tak bisa menggapainya.<br /><br />Tak mau kalah temannya tersebut juga kembali memacu langkahnya sehingga mereka semakin cepat melompat ke sana kemari dalam dinding-dinding yang melingkungi ruang itu, semakin lama semakin tinggi. Mirip dengan orang-orang yang berkendaraan sepeda api dalam tong setan. Tapi di sini kedua anak itu berlari di dinding vertikal hanya dengan kaki dan tanpa sepeda api.<br /><br />"Thio Khi... Ceng Sian... jangan tinggi-tinggi!!" ucap seorang anak perempuan yang tidak lagi bersorak-sorai seperti teman-teman lainnya, melainkan mulai merasa kuatir bahwa kedua anak itu akan kelelahan dan bisa tiba-tiba jatuh dari dinding yang tinggi itu.<br /><br />"Ceng Sian, mari kita turun!!" ucap Thio Khi yang sudah mulai merasa kakinya pegal.<br /><br />"Tidak sebelum aku menangkapmu..," balas Ceng Sian yang juga mulai terlihat lelah tapi malah memacu langkahnya sambil mencoba menggapai Thio Khi.<br /><br />Asupasu yang melihat dari kejauhan tanpa terasa menggerakkan tangannya yang panjang seraya menunjuk ke kedua bocah yang masih berlari pada dinding yang miring terjal itu. Tapi tak ada sesuatu yang terjadi. Ia menahan tenaganya. Ia akan bersiap-siap menolong kedua bocah itu apabila mereka mendadak lelah dan terjatuh.<br /><br />"Ya.. sudah, aku menyerah...!!" ucap Thio Khi yang melambatkan langkahnya. Akibatnya ia harus mulai berlari turun jika tidak ingin jatuh. Dengan ini Ceng Sian dapat mendekati dia dan menepuk bahunya.<br /><br />"Dapat!!" seru Ceng Sian gembira.<br /><br />Keduanya pun kemudian menurunkan kekerapan langkah mereka dan perlahan-lahan mulai berlari pelan dan akhirnya tiba di ruang terbuka itu. Sorak-sorai anak-anak menyambut kedatangan mereka berdua.<br /><br />"Hebat Thio Khi..!! Hebat Ceng Sian...!!" ucap mereka. Ya dalam usia yang hampir sama, adalah Thio Khi dan Ceng Sian yang hanya dapat berlari seperti itu. Yang lain-lain tidak terlalu nekat seperti mereka berdua.<br /><br />Jauh di sana Asupasu tampak kembali menurunkan lengannya. Senyumnya tampak perlahan tersungging. Tidak seperti manusia, seorang Tohbatu tersenyum dengan menggerakkan sedikit gelambir di kiri dan kanan wajah kepala mereka lebih lemah dari saat mereka berbicara. Bila dalam keadaan marah besar baru mulut mereka yang merupakan kelanjutan gelambir itu terbuka dan saat itu akan terdengar suara yang amat keras. Raungan sesosok Tohbatu.<br /><br />"Ceng Sian, Thio Khi jangan lakukan hal itu lagi, berbahaya!" ucap anak perempuan yang tadi menguatirkan mereka. Mei Lan namanya.<br /><br />"Ah, Mei Lan kami tidak apa-apa 'kan!" ucap Ceng Sian dengan gembira.<br /><br />Thio Khi hanya tersenyum saja.<br /><br />Mereka berdua senang dengan keseriusan Mei Lan yang kadang melarang mereka ini dan itu. Walaupun umum mereka sama tapi Mei Lan benar-benar menuruti larangan ayah ibunya. Jadi saat mereka bermain-main berlaku ia seakan-akan kakak dari Thio Khi dan Ceng Sian.<br /><br />Mei Lan pun cemberut melihat Ceng Sian yang kelihatannya tidak menggubris kekuatirannya. Lalu katanya, "Ya sudah.., biar saja nanti engkau jatuh!"<br /><br />"Wah, jangan gitu dong! Aku berterima kasih atas kekuatiranmu, 'kakak' Mei Lan!" ucap Ceng Sian sambil membungkuk hormat.<br /><br />Ketiganya kemudian tergelak tertawa diikuti oleh kawan-kawan mereka yang lain.<br /><br />Malam pun menjelang tiba. Anak-anak mulai berjalan bersama-sama mendaki tangga di tebing-tebing tinggi dan menuju ke rumah masing-masing di dalam gua-gua batu yang dipahat. Lampu-lampu kecil mulai menyala, menyajikan titik-titik kecil terang di dalam kegelapan lubang-lubang batu di gunung itu.<br /><br />Sesosok bayangan tampak berkelebat cepat meloncat ke sana-ke mari dan akhirnya berhenti di depat rumah atau gua Pek Liong Nionio. Ia menjura perlahan dan kemudian masuk. Di dalamnya telah duduk sang pemilik rumah, Hek Liong Kongkong dan Asupasu.<br /><br />"Liong-ji, engkau sudah datang!" ucap Pek Liong Nionio yang menyambutnya dan membawanya duduk di sebuah bangku yang dibuat dari batu dipotong rata segiempat dan sudut-sudutnya dihaluskan sehingga tidak lagi tajam.<br /><br />"Sudah, bibi. Dan aku membawa info lain yang penting," ucapnya pendek.<br /><br />Sejenak hening menyeruak di antara mereka. Lalu berkatalah Hek Liong Kongkong memecah kesunyian itu, "Masih meengenai pewaris darah naga?"<br /><br />Pemuda yang dipanggil Liong-ji itu mengangguk. Ketiga orang dihadapannya tampak tegang. Bila itu berarti bahwa Thio Khi bukan anak yang dimaksud, mereka sudah terlanjur sayang dan yakin bahwa anak itu memang seorang pewaris darah naga. Adalah menyedihkan bila mereka harus mencabut keyakinan itu dan mengalihkannya kepada anak yang lain. Sudah terlanjur sayang, kata orang.<br /><br />"Thio Khi memang pewaris darah naga. Tepatnya keturunan dari Lainitunz, sesosok Dahtula..," ucapnya pelan.<br /><br />"Dahtula..," ucap Pek Liong Nionio sambil menutup mulutnya, "aku pikir ia adalah..."<br /><br />"Tak penting itu," tukas Hek Liong Kongkong, "yang penting sesosok 'naga' tak perlu dari jenis tertentu."<br /><br />"Ya, tapi kita bukan pewaris darah naga sesosok Dahtula," ucap Pek Liong Nionio. "Aku tak tahu apa yang akan kita wariskan itu bakal cocok nanti."<br /><br />"Untuk itu tidak perlu kita risaukan dulu. Kita lihat saja, bila tidak cocok, cukup kita ajari dia dasar-dasar elemen api, hawa api. Biar dia nanti menyempurnakan sendiri ilmu tersebut."<br /><br />Sebuah suara yang lain dari suara manusia mengembang di udara, Asupasu, "Aku merasa bahwa Liong-ji masih membawa pesan lain.."<br /><br />"Betul, kakak Asupasu," ucapnya kemudian, "bahwa Thio Khi bukan satu-satunya turunan dari Lainitunz. Ada satu anak lagi, seperti kita tahu bahwa sesosok Dahtula selalu menurunkan dua benih dalam satu masa hidupnya."<br /><br />"Dan anak itu?" tanya Pek Liong Nionio.<br /><br />"Hilang tanpa bekas. Keluarganya dibunuh dan hanya tinggal seorang nenek dari bocah itu. Hwa namanya," jelas Liong-ji.<br /><br />Mengangguk-angguk ketiga orang yang ada di hadapannya itu.<br /><br />"Bagus, Liong-ji! Kerja yang bagus!!" ucap Hek Liong Kongkong sambil menepuk bahu anak muda tersebut.<br /><br />"Dan engkau datang pada saat yang tepat," ucap Pek Liong Nionio. "Thio Khi akan mengangkat saudara dengan Asupasu."<br /><br />"Jadi Thio Khi akan menjadi sepupu angkatku," ucap Lion-ji dengan gembira. Ya, Liong-ji telah mengangkat saudara dengan Bariaku, saudara dari Asupasu.<br /><br />Keempatnya pun kemudian tertawa. Lalu mereka membicarakan apa-apa yang harus disiapkan untuk acara yang tinggal kurang dari dua-tiga hari itu.<br /><br />Akhirnya tibalah hari itu. Malam tanpa bulan. Orang-orang telah berkumpul di salah satu pelataran batu yang tersembunyi di kawasan Gua Susun Utara. Dari luar baik daratan, maupun laut dan pulau Kern tempat itu walaupun terdapat api tidak akan terlihat. Benar-benar tersembunyi di balik bukit-bukit batu cadas.<br /><br />Hampir seluruh warga kampung Gua Susun Utara tampak ada di sana. Tua dan muda. Manusia dan Tohbatu. Kecuali tentu saja para penjaga yang masih bertugas untuk mencegah pihak-pihak yang tidak diinginkan menyusup ke sana.<br /><br />Di tengah api yang dibuat melingkar, tampak Asupasu dan Thio Khi, dua orang yang akan saling mengangkat saudara, akan saling menolong dalam suka maupun duka. Keduanya tampak tertawa-tawa dan bercanda. Sementara orang-orang tua, tampak sedang membicarakan sesuatu.<br /><br />Tak lama kemudian acara pengangkatan saudara itu dimulailah. Suatu pertemuan yang dinanti-nanti oleh penghuni kampung itu, karena selain bermakna mempererat tali persaudaraan antar sesama penghuni juga bermakna menjaga keharmonisan antara sesama yang hidup di tempat itu. Makanan, minuman dan bunyi-bunyian mengiringi prosesi yang sederhana berlangsung. Pesta sederhana menutup prosesi itu dan meninggalkan kenangan indah bagi yang menjadi titik utama acara, dan siapa lagi jika bukan Thio Khi dan Asupasu.<br /><br />"Wah kalau begini, aku mau deh punya banyak saudara angkat!" ucap bocah tujuh tahun itu dengan gembira.<br /><br />Asupasu yang sekarang telah menjadi kakaknya hanya tersenyum. Ia mengusap-usap kepala bocah itu dengan sayang. Sekarang menjadi tanggung jawabnya untuk mendidik bocah itu menjadi seorang 'naga' yang mewarisi ilmu-ilmu mereka.<br /><br />Malam pun semakin larut dan orang-orang mulai meninggalkan tempat acara tadi berlangsung, sambil tak lupa membereskan sisa-sisa yang ada. Pelataran kembali menjadi sepi dan lengang, bagai tak ada apa-apa sebelumnya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-4438814925311908412007-07-13T20:16:00.000+02:002007-07-13T20:17:31.303+02:00Menyebarkan BenihKira-kira hampir setahun yang lalu dalam malam berhujan deras.<br /><br />"Hhhhhhh!!! Arghhhh!!" rintihan seorang perempuan muda tampak samar-samar terdengar lirih di antara derasnya hujan yang menyapu bersih debu-debu udara malam di bagian selatan kota Kern. Sebuah rumah terbuat sebagian dari kayu berwarna hitam tampak terbuka jendelanya. Sinarnya lilin temaram menyajikan bayangan-bayangan yang bergerak naik dan turun dan bergerak meliuk-liuk.<br /><br />"Suamiku... ahhhh!! Engkau benar-benar perkasa malam ini!!! Ahhhh!!" seru perempuan itu yang meliuk-liuk mengikuti irama sesosok bayangan yang bertumpu di atas perutnya. Ia mengejang berkali-kali meluapkan rasa puasnya saat mencapai puncak pengharapannya.<br /><br />Yang tidak disadari oleh perempuan itu adalah siapa yang berada di atasnya. Sosok tersebut bukanlah suaminya yang tampak tertidur pulas di sampingnya dengan busana yang ala kadarnya. Rupanya mereka memang sejak semula sudah merencanakan untuk memadu kasih. Lalu datanglah bencana yang tidak mereka harapkan. Sesosok makhluk dengan tubuh hitam legam bersisi dengan sayap lebar dipunggungnya hinggap di atas bubungan rumah mereka. Dengan kemampuannya menipu pikiran dan pandangan manusia ia menyajikan bahwa sang perempuan sedang bercengkerama dengan suaminya dan bukan dengannya. Sang suami sendiri telah ia buat tidur pulas dengan kepuasan tersungging pada bibirnya.<br /><br />Melenggak-lenggok tubuh perempuan itu dalam khayalannya. Ia merasa bahwa suaminya telah masuk sedalam-dalam yang ia harapkan dan memberikan kehangantan yang ia harapkan selama ini. Puncak yang ia telah tunggu-tunggu sejak mereka membangun kehidupan berdua.<br /><br />Makhluk itu pun dengan menirukan suara sang lelaki ikut memuji kelincahan dan keanggunannya, serta segala ucapan yang dapat melambungkan seorang perempuan dalam khayalannya saat bersatu dengan pasangannya.<br /><br />Akhirnya selesailah proses penyatuan itu. Dengan keringat yang bercucuran makhluk itu meletakkan sang wanita yang telah tertidur dengan lelahnya. Menjilati sedikit tubuh yang telah memberinya kepuasan dan terlebih akan menjadi penitip dari benih yang ia tanamkan. Dengan senyum yang tak jelas artinya ia melihat ke arah sang lelaki yang tertidur. Mungkin seakan-akan mengatakan bahwa agar merawat anak yang akan datang dalam rahim sang perempuan.<br /><br />Tangannya yang panjang dan berbentuk seperti pedang, yang terbuat dari campuran tulang dan tempurung mirip kura-kura, ia merapikan selimut dan penutup tempat tidur kedua pasangan itu. Ia harus membuat keadaan tempat itu mirip dengan saat mereka berdua selesai melakukan hal yang beru ia nikmati.<br /><br />Lalu dengan ketawanya yang lirih, yang menyakitkan telinga karena bunyi yang tinggi, ia melenting dan keluar dari jendela yang terbuka. Melesat ke dalam kegelapan malam dan derasnya air hujan yang masih terus jatuh.<br /><br />"Tinggal satu lagi, rhhhhh!!" gumam makhluk itu saat ia terbang dalam hujan yang masih saja deras bagai dimuntahkan dari langit.<br /><br />Sementara itu tampak dua sosok bayangan berlompatan dari satu atap rumah ke atap rumah lain dengan lincahnya. Menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki bukan main-main.<br /><br />"Bagaimana cara kita melacak makhluk itu, guru?" tanya seorang dari mereka berdua.<br /><br />"Dengan ini..," katanya sambil menyorongka sebuah kotak yang di atasnya berpendar batu berwarna. Samar-samar terlihat dalam derasnya air yang menyulitkan mata untuk melihat dengan jelas.<br /><br />"Sebuah perkakas pencari?" tanya orang itu lagi.<br /><br />"Ya, muridku. Ini adalah sebuah bagian dari jenis makhluk yang sama, yang akan bereaksi saat jenis mereka sedang datang masa berkembang biak. Dan hari ini adalah hari satu-satunya dalam kurun waktu tahunan mereka harus melepas benih mereka," jelas guru sang murid.<br /><br />"Dan mengapa makhluk itu harus ditangkap?" ucap sang murid yang sedari awal pencarian itu tidak tahu apa sebabnya mereka melakukan sesuatu dalam cuaca seburuk ini.<br /><br />"Untuk mencegahnya berkembang biak," ucap gurunya pendek.<br /><br />Nada terakhir ini membuat sang murid urung untuk lebih jauh bertanya. Sebagai seorang pemburu bayaran atau Jäger, gurunya mendapat tugas yang cukup berat dengan bayaran yang tinggi malam ini. Kontrak pekerjaan ini sebenarnya telah datang jauh beberapa bulan sebelumnya. Bahkan dengan bayaran yang telah disetorkan lunas sejak awal. Hanya saja kapan pekerjaan itu harus dilakukan, belumlah jelas. Baru hari ini, sore sekali hampir menjelang gelap, datang seorang utusan dengan stempel yang sama dengan penawaran dan pengantaran uang, memberitahukan bahwa pekerjaan harus dilakukan malam ini. Disertakan pula sebuah perkakas untuk melacak keberadaan buruan mereka. Sesosok Dahtula, Manusia Naga Hitam.<br /><br />"Jika ia terbang, akan sulit kita untuk melacaknya..," dengan hati-hati sang murid membuka mulut. Ya, sedari tadi mereka hanya melihat cahaya dari perkakas pelacak itu memendar terang kemudian redup dengan cepat dalam suatu jurusan. Belum dengan mata kepala sendiri mereka menemukan makhluk yang dicari itu.<br /><br />"Tapi konon, sulit sesosok Dahtula untuk terbang dalam cuaca seburuk ini," ujar gurunya, "tubuhnya yang banyak mengandung unsur api... tidak terlalu tahan dengan tumbukan terlalu sering air hujan.."<br /><br />"Kita perlu tahu dulu apa tujuan dari Dahtula ini sehingga kita bisa memotong jalannya, guru..?" tanya pemuda itu lagi.<br /><br />Orang tua itu mengangguk, "Ya, dan ia ingin berkembang biak dengan menggunakan seorang manusia perempuan. Pemberi tugas kita telah memberikan sejumlah daftar kira-kira orang-orang yang akan dicarinya dengan menyebar mata-mata untuk memantai masa ovulasi para pasangan muda."<br /><br />Menggangguk-angguk pemuda itu mendengarkan penjelasan gurunya.<br /><br />"Sudah hampir semua titik tujuan kita coba, mungkin di titik terakhir kita beruntung," ucapnya sambil memperhatikan peta yang dibacanya.<br /><br />Muridnya menangguk dan kemudian meloncatlah mereka menuju atap rumah terdekat dan selanjutnya mendekati titik seperti yang tertera di dalam peta.<br /><br />Sementara itu hujan mulai mereda. Dan bulan pun mulai malu-malu muncul dari balik awan yang tadinya gelap dan basah. Sesosok makhluk tampak kelelahan keluar dari sebuah rumah yang baru saja ia masuki, untuk melepaskan benih terakhirnya. Sepanjang beberapa tahun dalam hidupnya, ia hanya memiliki dua buah kesempatan untuk membuahi manusia. Dari hasil itu, beberapa keturunan dapat menghasilkan sosok-sosok makhluk seperti dirinya. Dengan cara ini bangsanya dapat bertahan hidup di balik pengejaran manusia yang gemar memanfaatkan bagian-bagian tubuh bangsanya untuk obat, senjata dan kebutuhan lain. Bangsanya dengan cara yang sama-sama kejam memanfaatkan balik rahim manusia untuk menyelundupkan kehidupan mereka dalam beberapa keturunan, yang tidak diketahui kapan akan muncul kembali dalam bentuknya.<br /><br />Ia pun terbang melompat perlahan. Tapi tak berapa jauh ia kembali harus mendarat karena tenaganya telah hampir habis akibat kegiatan yang baru ia lakukan. Di atas sebuah rumah kosong ia pun mendaratkan dirinya. Dicobanya untuk mengumpulkan kembali tenaga denga menarik napas panjang berkali-kali.<br /><br />Makhluk itu tampak menarik napas panjang. Selesai sudah tugasnya malam ini. Ia sudah siap untuk berhadapan dengan segala jenis pemburu yang akan menghadangnya. Dari nalurinya, ia sudah menduga akan ada orang yang mengejarnya. Benihnya yang telah masak merupakan suatu barang tersendiri yang dihargai mahal oleh orang-orang yang mengerti untuk memanfaatkannya. Dan ia tidak memperbolehkan itu.<br /><br />"Itu Dahtulanya, guru!" tiba-tiba teriak seorang pemuda yang berlari-lari di atas rumah menuju ke tempat makhluk itu bertengger. Sesosok bayangan nampak berlari bersama-sama dengannya.<br /><br />Demi mendengar suara itu dan melihat bahwa yang mengejarnya telah muncul, makhluk itu melenguh keras dan mulai mengembangkan sayapnya. Ia mengepak-ngepakknya keras sehingga tercipta angin yang besar. Lalu mencobalah ia dengan sisa-sisa tenaganya dari proses membuahi melombat tinggi ke udara.<br /><br />Di saat itu pemuda yang berteriak tadi dengan tanpa perhitungan melompat dan melemparkan seutas tali yang diujungnya dipasangkan kait. Tali tersebut melipat dan mengikat kaki dari makhluk itu. Membuatnya tidak dapat terbang dengan bebas. Dan sebelum ia bisa memutuskan tali tersebut dengan tangannya yang tajam seperti pedang ia berupaya untuk membabat putus tali yang melibat kakinya. Tapi halangan pedang dari sang pemuda yang menggelantung melukai tangannya, "Tagggg!! Crott!!"<br /><br />Makhluk itu meraung keras. Sakit, lemas dan marah!! Jika hari ini adalah hari akhirnya, ia akan membawa dua orang itu turut serta ke alam sana. Alam kematian.<br /><br />"Tusuk hulu kakinya!" perintah gurunya demi melihat muridnya bergantung pada Dahtula yang sedang terbang rendah karena tak dapat menahan beban muridnya.<br /><br />Ayunan pedang pun dilakukan demi menuruti petunjuk gurunya. "Takkk!!" ekor dari makhluk tersebut berusaha menghalangi.<br /><br />Sementara itu sang guru segera mengeluarkan sesuatu dan mengaburkannya di udara. Bubuk pembius. Tampak makhluk itu meraung lebih keras. Ia paling benci cara-cara keji. "Jika mau bertarung, bertarunglah!!" raungnya.<br /><br />Tapi permintaan itu tak digubris dua orang pemburunya. Ya, bagi para pemburu, tidak penting bahwa mereka harus bertarung dengan jujur dengan buruannya. Tujuan mereka adalah mendapat mangsa yang dipesan, baik hidup ataupun mati. Itu saja.<br /><br />Akhirnya dengan raungan yang menyakitkan sebuah tusukan mengarah pada hulu kakinya mengenai sasaran. Bercakkan darah hitam mengalir turun membasahi bumi. Terciprat pula wajah sang pemuda yang telah mendarat di atas tanah. Sang Dahtula sendiri telah jatuh dengan berdebam di atas tanah. Mengerang-ngerang antara sadar dan tak sadar. Bubuk bius yang tapi telah dileparkan ke mukanya membuat ia tidak lagi bisa mengendalikan gerakan-gerakan anggota tubuhnya, juga tusukan pada pusat tenaganya, membuat himpunan hawa yang biasanya ia kumpulkan untuk terbang dan bertarung menjadi buyar. Digantikan dengan mengalirnya cairan kehidupan berwarna kehitaman dari padanya.<br /><br />"Engkau tidak apa-apa?" serunya kepada muridnya seraya membantunya bangun.<br /><br />Muridnya hanya menggeleng lemah. Pergulatan tadi telah banyak menyita tenagannya. Untung saja darah makhluk itu tidak meracuni ia yang tersimbah banyak sampai seperti ini, seakan-akan mandi olehnya.<br /><br />"Dahtula Lainitunz, engkau telah melangar perjanjian kaummu dengan menyebarkan benih di antara manusia," ucap orang tua itu sambil membaca gulungan kertas yang diberikan oleh sang pemesan pekerjaan ini.<br /><br />"Arrrrggg!!! Perjanjian!! Hahhhh!!!" ucap Lainitunz dengan erangan, "engkau hanya pemburu, uang adalah tujuanmu!! Cepat bunuh aku!!!" Dengan erangan yang keras ia mencoba untuk bangkit dan menyerang sang orang tua.<br /><br />Tapi terlambat, sepucuk pedang dari sang orang tua segera menamatkan riwayat sang Dahtula. Dengan raungan keras ia masih mencoba untuk menyabetkan kedua lengan pedangnya ke arah dalam, di mana orang tua itu berdiri. Putaran pedang dalam dadanya menghentikan gerakan lengannya dan ia pun mati kaku dalam keadaan siap berdiri dan memangsa penyerangnya.<br /><br />"Guru!!" seru pemuda itu. Ia melihat bahwa posisi gurunya amatlah genting. Bila gurunya tidak melakukan serangan terakhir itu, bisa jadi pukulan Dahtula masih dapat sampai dan mencapai dan menewaskannya.<br /><br />"Aku tidak apa-apa..," jawabnya pucat. Setelah ia menarik pedangnya sang Dahtula pun jatuh berdebam.<br /><br />Lama setelah memperhatikan dan mencari-cari di bagian pangkal kaki dari makhluk itu, sang orang tua menghela napas, "Kita terlambat..! Ia telah melepaskan kedua benihnya!!"<br /><br />"Jadi..??" tanya muridnya.<br /><br />"Kita harus menunggu beberapa saat lagi atau mungkin bertahun lagi sampai sosok turunannya muncul dari perempuan yang dibuahinya," jawabnya pendek.<br /><br />"Dan kita tidak tahu perempuan mana yang telah dibuahi..," ucap muridnya.<br /><br />Gurunya hanya mengangguk.<br /><br />"Paling tidak sembilang bulan dari sekarang harus diadakan pencarian lagi...," ujarnya. "Tapi itu bukan tugas kita lagi. Tugas kita sudah selesai sampai sini. Membunuhnya dengan atau tanpa benih terdapat padanya."<br /><br />Mereka pun kemudian memberi tanda pada jasad Dahtula yang telah mendingn itu. Menandakan bahwa itu adalah hasil buruan mereka. Selanjutnya mereka pulang ke markas mereka untuk menyuruh orang mengambil hasil buruan itu dan juga memberi kabar kepada pemberi pekerjaan bahwa tugas telah selesai dilaksanakan.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-12360415193644829952007-07-11T18:10:00.000+02:002007-07-11T18:11:34.372+02:00Sebuah Ramalan Gendeng"Brakk!!!" sebuah pukulan tangan di atas meja kayu memecahkan keheningan dalam ruangan itu.<br /><br />"Maaf, pangeran!" ucap sebuah suara dari dua orang yang berlutut di hadapan orang yang sedang marah itu.<br /><br />"Bagaimana kalian.., dua orang Pilar Hitam saja.., tidak dapat mengambil bocah itu kembali dari para penghianat!!" ucap orang itu kembali. Kali ini nada suaranya telah agak melunak. Ya, ia dan kedua orang yang berlutut di hadapannya sebenarnya berkedudukan hampir setara. Hanya karena darah yang mengalir di tubuhnyalah ia memiliki sedikit kelebihan dalam pemerintahan di tempat itu. Pangeran Ketujuh.<br /><br />"Bangkitlah, bangkitlah kalian..!" ucapnya seraya menyongsong kedua orang itu. Ketiganya segera duduk bersama di sebuah meja kayu besar di dalam ruangan itu. Muram wajah ketiganya.<br /><br />"Tak disangka bahwa orang-orang Gua Susun Utara atau hanya penghuni Lorong Utara, ikut membantu para pelarian itu..," ucap Pangeran Ketujuh getir.<br /><br />"Ya, kami sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu, pangeran," ucap Yeti Kelam yang merupakan salah seorang dari dua orang itu.<br /><br />"Benar, kami terlalu meremehkan bantuan tak terduga dari tempat itu," ucap Awan Kelam memperkuat perkataan adik angkatnya.<br /><br />"Kalian tahu betapa pentingnya bocah itu berada di pihak kita? Ini akan sangat memperkuat kedudukan kita di antara para pemilih dan rakyat di kota ini," ucap Pangeran Ketujuh lagi.<br /><br />"Ya, pangeran!" ucap keduanya hampir berbarengan.<br /><br />Tiba-tiba suasana tak nyaman itu dipecahkan oleh tawa seseorang yang membahana. Dengan hawa tenaga dalam dan akustik ruangan yang megah, suara itu semakin bertambah besar dan menggetarkan jantung pendengarnya. Cepat-cepat kedua Pilar Hitam mengatur napas mereka untuk menangkan isi perut mereka seraya juga meletakkan tangan mereka di dada dan punggung Pangeran Ketujuh. Di antara mereka bertiga, Pangeran Ketujuh adalah yang paling rendah ilmu beladirinya.<br /><br />"Singa Laut Emas, munculkanlah dirimu! Jangan buat pangeran terguncang dengan ketawamu itu!!" ucap Awan Kelam setelah mereka berhasil melawan akibat dari tawa yang membahana itu.<br /><br />Tak lama berselang sesosok bayangan dengan tubuh tinggi besar, bahkan lebih tinggi dari Awan Kelam dan Yeti Kelam yang sudah lebih tinggi dari kebanyakan orang, berambut riap-riapan berwarna emas tampak melayang masuk. Ringan langkahnya, tidak cocok dengan bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi.<br /><br />"Singa Laut Emas datang menghadap!!" katanya sambil berlutut di hadapan Pangeran Ketujuh. Tampak ia hanya menggunakan satu lengannya untuk memberi hormat karena lengan yang lain tampak sibuk menggendong sesuatu.<br /><br />"Apa yang membawamu kemari, Singa Laut Emas?" tanya Pangeran Ketujuh. Orang ini adalah salah satu pembantu andalannya disamping kedua Pilar Hitam.<br /><br />"Saya datang membawa pemecahan masalah pangeran dan kedua rekan ini," katanya sambil menunjuk ke arah kedua Pilar Hitam.<br /><br />"Maksudmu..? Engkau mendapatkan bocah itu?" tanya Yeti Kelam tak percaya. Walaupun Singa Laut Emas bertubuh lebih besar dan tinggi, ia yakin kemampuannya tidak jauh berbeda dengan dirinya dan juga kakaknya. Jadi ia tidak yakin bila orang itu dapat menyelesaikan tugas mereka dengan merebut bocah itu kembali yang telah jatuh ke tangan penghuni Gua Susun Utara.<br /><br />"Bukan bocah yang kita cari.., tapi bocah lain dengan waktu lahir yang sama dan bentuk muka dan juga tempat dalam daerah yang sama..," ucapnya jumawa.<br /><br />"Maksudmu..? Anak ini juga berasal dari daerah yang sama, bagian kota yang sama dengan bocah itu?" tanya Awan Kelam tak percaya.<br /><br />Singa Laut Emas mengangguk membenarkan.<br /><br />"Dan orang tuanya?" tanya Yeti Kelam.<br /><br />Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Melihat dari sorot mata Singa Laut Emas, tersirat jelas bahwa orangtua dari bocah dalam gendongannya itu telah dibereskan selamanya olehnya.<br /><br />"Hahahaha!!!" membahana tertawa empat orang itu karena apa yang mereka rencanakan tidak tertunda dengan lolosnya sang bocah di Gua Susun Utara.<br /><br />Tawa keempatnya terhenti saat bocah dalam gendongan Singa Laut Emas terbangun dan mulai mulai menangis. Saat diambil dari kedua orang tuanya, sang bocah telah ditotok secara halus oleh Singa Laut Emas sehingga tidak menimbulkan kecurigaan saat dibawa. Di saat ini pengaruh totokan itu telah habis. Rasa haus, lapar dan juga ketidaknyamanan akibat suara tawa yang keras mengusiknya dan membuatnya menangis dengan keras.<br /><br />Dengan segera Pangeran Ketujuh memanggil dayang melalui pengawal dalam ruangan tersebut untuk mengurus bocah kecil yang belum genap berumur dua bulang. Kepada para dayang ia hanya memberitahukan bahwa itu adalah anak angkatnya. Dan diperintahkan untuk tidak menceritakan kepada siapa-siapa perihal anak itu dan bagaimana bisa tiba di sini. Dayang-dayang yang patuh itu hanya mengangguk dan mengundurkan diri sambil membawa si bocah yang sudah agak reda tangisnya karena telah dimomong seorang wanita. Mungkin seseorang yang mengingatkan ia pada sosok ibunya.<br /><br />Sepeninggalnya para dayang, keempat orang itu kembali duduk di meja kayu besar dalam ruangan itu. Keempatnya kembali membicarakan rencana-rencan mereka berkaitan dengan keberadaan sang bocah.<br /><br />"Pangeran, bisakah diperdengarkan kembali bagaimana bunyi ramalah itu sebenarnya?" bertanya Singa Laut Emas tanpa tedeng aling-aling. Ia adalah seorang kasar dan jujur. Hanya sayang keberpihakannya pada uang dan kekuasaan telah membawanya kepada teman-teman yang jahat dan keji.<br /><br />"Perlukah?" tanya Pangeran Ketujuh balik kepada Singa Laut Emas.<br /><br />"Jika kita mau mengerjakan rencana ini bersama-sama, ya.. aku ingin mendengarnya. Dan aku pula yang mendapatkan anak itu mengantikan bocah yang tidak bisa kita dapatkan itu," katanya sambil melirik ke kedua Pilar Hitam. Yang dipandang tampak menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangan menahan jengkel.<br /><br />"Sudah.., sudah!!" ucap Pangeran Ketujuh demi melihat memanasnya suasana, "sesama rekan kita tidak boleh saling berseteru."<br /><br />Setelah kedua pihak yang saling bersaing merebut kepercayaan pangeran itu mulai mendingin, mulailah Pangeran Ketujuh membacakan ramalan yang didengarnya,<br /><br />"Di malam terang bulan,<br />angin tidak bertiup,<br />dan air laut surut,<br />turun naga dari langit,<br />yang akan memerintah pusat (Kern).<br /><br />Naga muncul di pusat (Kern)<br />tidak di tengah tapi di selatan,<br />di rumah berdinding kayu hitam,<br />bersaudara dengan batu,<br />berkawan dengan air, dan<br />dilindungi oleh tanah."<br /><br />"Hmmm, jadi itu yang menunjukkan jika ia lahir di selatan kota ini dari pasangan pengantar berita?" tanya Singa Laut Emas.<br /><br />"Begitulah..," jawab sang pangeran.<br /><br />"Atau engkau ada ide lain untuk menafsirkannya?" tanya Awan Kelam. Suatu pertanyaan jujur dan juga menguji. Bila salah, berkurang nilai Singa Laut Emas di mata Pangeran Ketujuh.<br /><br />Singa Laut Emas tidak saling menjawab. Ia tampak berpikir sejenak. "Jika demikian, demikianlah...," ucapnya. "Tapi pada hari yang sama aku temukan empat orang anak lahir. Dan dua berada di selatan kota ini. Walaupun hanya satu yang berasal dari pasangan pembawa berita."<br /><br />"Dan itulah bocah yang hilang di daratan sana, Gua Susun Utara," desis Yeti Kelam. Bocah yang hilang di depan matanya karena ia tidak mampu mendobrak dinding batu buatan sesosok Tohbatu.<br /><br />"Tenanglah, tidak ada yang tahu soal hilangnya bocah itu selain kita. Benar, begitu?" tanya Singa Laut Emas meyakinkan.<br /><br />Ketiga orang dihadapannya mengangguk.<br /><br />Lalu lanjutnya, "dan juga kalimat 'di rumah berdinding kayu hitam' tidak mengisyaratkan bahwa ia harus di rumah yang telah berbentuk begitu, kita dapat membuatnya menjadi begitu. Dan aku telah melakukannya."<br /><br />Menggeleng-geleng kepala ketiga orang yang duduk di hadapan Singa Laut Emas demi mendengar apa-apa yang telah dilakukan oleh orang itu untuk mencocokkan isi ramalan dengan bocah yang dibawanya tadi.<br /><br />"Engkau benar-benar tidak meninggalkan celah untuk keragu-raguan, kakak Singa Laut Emas!" ucap Yeti Kelam. Ia menjadi kagum atas kepintaran rekan dan juga saingannya itu.<br /><br />"Untuk saat ini, ya!" ucapnya merendah. "Tapi di lain waktu, kalian mungkin lebih jeli dari aku!"<br /><br />Bergelak mereka atas suasana yang telah mencair itu. Dengan tepukan tangan, muncullah dayang-dayang dengan minuman berkohol, bahan yang dapat membuat orang gembira dan lupa kesusahannya. Dengan minuman berkohol orang-orang dapat selalu gembira dan tertawa berlama-lama.<br /><br />"Ayo.., ayo!! Kita rayakan awal rencana ini!!" kata Pangeran Ketujuh sambil mengangkat wadah minumnya dan disambil oleh tiga orang yang lain, yang segera meneguknya dengan cepat dan menghentakkan wadah minim masing-masing dengan keras di atas meja. "Lagi!!" ucap masing-masing hampir bersamaan. Dayang-dayang pun lalu melayani. Dan minum-minum pun berlanjut sampai pagi.<br /><br />Sementara itu jauh dari sana tampak seorang nenek tua menangisi anak dan mantunya yang bersimbah darah. Mantu perempuannya yang baru saja melahirkan anak, belum genap berusia dua bulan tampak membelalak penasaran saat nyawanya meregang. Sebuah jarum besar tampak di dahinya, walaupun kecil, jarum dengan bagian tengahnya kosong kosong itu mengalirkan darah dari isi kepada dan pembuluh lainnya membuat wajah nyonya muda itu berwarna merah mengering mengerikan dengan bola mata membelalak berwarna putih. Mirip dengan suaminya, yang tapi terpejam matanya, darah juga membasahi sekujur wajahnya. Kali ini jarum menembus hidungnya dan melesak dalam, meninggalkan titik kecil yang meneteskan cairan merah mengering perlahan-lahan.<br /><br />Nuansa corak merah kehitaman melebar melingkupi kedua sosok itu yang tergeletak dengan posisi aneh di atas lantai. Seakan-akan keduanya disusun berbentuk lambang dua unsur yang berlawanan. Suatu kejahatan keji yang oleh pelakunya masih diatur supaya meninggalkan tanda-tanda khasnya.<br /><br />Paturan yang berdatangan atas laporan warga yang mendengar jeritan nenek Hwa tidak dapat dapat menemukan jejak apa-apa. Pintu rumah itu masih tertutup, hanya jendelanya meninggalkan sedikit bercak darah. Lain tidak. Tidak ada tanda-tanda siapa pelakunya. Dari hasil tanya sana-sini, Paturan hanya dapat menyimpulkan bahwa kedua pasangan muda yang menjadi korban itu ramah terhadap tetangganya dan tidak terlihat memiliki musuh yang sampai dapat berlaku sekeji itu. Selain itu hilangnya bayi mereka juga menjadi suatu tanda tanya tersendiri.<br /><br />"Cucuku Kiang Hu..., dimanakah engkau buah hatiku.. huhuhu!!" tangisnya sedih. Sebagai seorang tua yang sudah lama mendambakan cucu, terbunuhnya anak dan mantunya serta hilangnya cucunya merupakan suatu tekanan batin yang amat berat baginya. Kesadarannya hilang dihimpit kesedihan bertumpuk itu. Dari kemarin di mana ia berkeluarga dengan beberapa orang yang disayanginya, hari ini ia sebatangkara. Rasa sedih dan sepi bergegas menganggu jiwanya yang sudah tua dan tidak lagi kuat itu. Para tetangga berusaha untuk menenangkannya tapi tidak berhasil.<br /><br />Sejak hari itu rumah keluarga Kiang menjadi tempat yang tidak terurus. Bekas kematian yang mengenaskan membuat orang takut untuk singgah di sana. Juga lolongan tangis dan tawa dari nenek Hwa yang telah menjadi gila semakin menjauhkan minat orang untuk singgah ke sana. Beberapa tetangga yang peduli telah mencoba mengurus nenek itu dan memberinya makan. Tapi nenek Hwa malah melempari mereka dan marah-marah, menuduh merekalah yang membunuh kedua anak dan memantunya serta menyembunyikan cucunya. Akhirnya tiadalah orang yang tahan untuk mengurusinya. Tinggalah nenek Hwa dalam keadaan yang menyedihkan dalam sisa-sisa rumahnya yang mirip rumah hantu yang tak terurus.<br /><br />Desas-desus pun bermunculan berkaitan dengan kejadian itu dan juga menghilangnya sebuah bocah lain dengan ibunya yang kebetulan lahir pada hari dan jam yang berdekatan di bagian selatan kota itu. Pada keluarga itu, yang suaminya baru saja meninggal karena sakit, keluarga Thio tampak pada suatu hari dan hilang pada hari berikutnya. Semua orang yang tinggal di rumah itu. Hilang tak berbekas. Tidak ditemukan korban tapi tiada kabar kemana penghuninya. Biasanya ada beberapa orang dan juga paman keluarga Yang dari perempuan yang baru melahirkan bayinya itu, tinggal di tempat itu.<br /><br />Berita pun ditiup-tiupkan bahwa ada kaitan antara kedua hilangnya bocah yang lahir pada saat yang sama, saat di mana air laut surut pada malam hari bulan purnama, yang berkebalikan dengan kebiasaan di tempat itu yang umumnya pasang. Keanehan itu dikabarkan terkait dengan lahirnya kedua bocah itu yang menandakan akan terjadinya suatu peristiwa besar. Demikianlah orang-orang yang sering bergunjing, peristiwa besar apa yang akan terjadi itu sendiri tidak dijelaskan.<br /><br />"Di malam terang bulan,<br />angin tidak bertiup,<br />dan air laut surut,<br />turun dua naga dari langit,<br />yang akan memerintah pusat (Kern).<br /><br />Kedua naga muncul di pusat (Kern)<br />tidak di tengah tapi di selatan,<br />di rumah berdinding kayu hitam,<br />baik asli maupun palsu,<br />bersaudara dengan batu,<br />berkawan dengan air, dan<br />dilindungi oleh tanah,"<br />"<br /><br />terdengar nyanyian seorang pengemis lantang pada malam hari. Langkahnya yang gontai menandakan ia telah minum banyak air berkohol. Tawanya berhaha-hihi entah menandakan hatinya sedang gembira atau hanya akibat apa yang ia minum.<br /><br />"Di malam terang bulan,<br />angin tidak bertiup,<br />dan air laut surut,<br /><br />...,"<br /><br />meneruskan ia bernyanyi. Langkahnya pun terhenti saat berada di luar rumah keluarga Thio. Lalu gumamnya pelan, "Ini tempat naga kedua turun..." Setelah memperhatikan sekilas ia pun kembali berdendang, menegak lagi kendi minuman berkohol yang dibawanya dan tertawa-tawa gembira.<br /><br />Sesosok bayangan tampak berbicara kepada temannya, "Perlu diikuti pengemis itu?"<br /><br />"Tidak perlu, kelihatannya dia bukan yang dimaksud oleh inspektur," jawab rekannya. Keduanya pun kembali menyembunyikan dirinya dari bayangan bulan yang sudah tidak lagi penuh, mengamat-amati siapa-siapa yang tertarik dengan rumah bekas keluarga Thio di malam hari.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-22725639439014938842007-07-10T19:14:00.001+02:002007-07-10T19:14:48.991+02:00Tugas yang Gagal"Deggg!!" tiba-tiba langkah mundur membuat kepalanya terantuk batu. Yeti Kelam ingat betul bahwa saat ia berdiri tadi lorong yang ia lewati tidaklah sesempit dan serendah ini. Bila jalan tadi bisa menghilang.., bisa pula dinding kiri-kanannya menyempit atau melebar sesuka hati. Keringat dingin mulai membasahi peluknya. Ia sebagai seorang pemburu atau Jäger dan juga pembunuh bayaran tidak biasa takut dalam bertempur dengan segala kalangan manusia dan juga bukan. Tapi di sini, di tempat yang sinar matahari hanya temaram, berangin kering dan juga berwarna melulu kelabu, entah mengapa tiba-tiba hatinya menjadi ciut. Ia merasa ada kekuatan lain yang lebih besar dari yang bisa ia hadapi sedang mengintainya.<br /><br />"Aku Yeti Kelam, tidak bermaksud mencari urusan dengan penghuni Lorong Utara maupun Gua Susun Utara. Aku hanya minta ijin untuk keluar dari sini dengan membawa dua orang dalam gendonganku ini," begitu ucapnya setelah dapat menetapkan hatinya. Lebih baik ia berbasa-basi, siapa tahu yang dapat melakukan hal barusan akan memunculkan diri dan setelah itu baru ia bisa berseteru dengan fisik.<br /><br />Tidak ada jawaban melainkan keheningan belaka. Angin yang tadi tiada bertiup mulai perlahan-lahan lebih kencang muncul. Mengibarkan jubah dan rambutnya yang riap-riapan.<br /><br />Setelah sesaat tiada jawaban atas perkataannya itu Yeti Kelam pun meletakkan Yang Ling Ie yang pingsang di lantai batu dekat kakinya dengan tetap mengendong bocah yang masih saja tertidur dengan tenang itu. Ia mencoba mendorong batu yang tadinya merupakan jalan keluar dari tempat ini. Masif. Padat. Tidak bisa ia menggerakkannya.<br /><br />Yeti Kelam pun akhirnya meletakkan bocah yang tadi digendongnya di sisi Yang Ling Ie dan menggunakan kain ibunya itu sebagai peyangga kepala bocah itu. Entah bagaimana demi melihat wajah yang damai dan tenang dari bocah itu, ia merasa sayang dan kasihan. Jika saja ini bukan perintah pangeran, mungkin sudah diangkatnya bocah itu sebagai penerus ilmunya.<br /><br />Ia pun kemudia mengambil kuda-kuda rendah dan mulai mengempos tenaganya untuk merontokkan batu di depannya. "Brakkk!!!" Pukulan Badai Angin Dingin yang keluar dari tinjunya menyambar lurus dan mengenai dinding batu di depannya. Asap batu dan pasir yang tercipta membutakan sedikit pandangannya yang segera mengendap di atas lantai batu. Dari hasil pukulannya itu ia melihat bahwa sebuah lubang sebesar kucing tampak menganga, tapi belum menunjukkan ruang di belakang sana, melainkan nampak bahwa dinding batu itu adalah masif belaka tanpa adanya ruang di belakangnya. Yeti Kelam menjadi ragu-ragu apakah benar itu dinding yang dimaksud, atau ia salah mengira.<br /><br />Untuk memastikan dugaannya itu ia pun mengambil arah lain yang agak sedikit serong dari dinding yang telah berhasil sedikit dilubanginya itu. Dan "brakkk!!!" kembali pukulan Badai Angin Dingin membuahkan hasil yang sama seperti sebelumnya. Dan lagi untuk dinding di arah yang lain dan dengan hasil yang sama.<br /><br />Sementara itu tanpa disadari oleh Yeti Kelam yang sedang sibuk menjajal-jajal dinding mana yang harus ia robohkan dengan pukulannya, sesosok wujud makhluk berkulit kelabu seperti batu-batu di sampingnya tampak muncul seperti asap dari lantai batu di bawahnya. Perlahan-lahan terbit dan mulai berbentuk seperti manusia, akan tetapi dengan punggung yang melengkung dan tangan yang panjang mencapai tanah, dua kali lebih panjang dari tangan manusia secara umum. Tohbatu. Roh tanah yang secara khusus mendiami tempat-tempat yang murni terbuat dari batu. Ia tampak memperhatikan bocah yang diam dan tertidur di sisi ibunya itu. Lalu dengan gerak yang ringan ia menghampiri dan mengambilnya. Menimangnya perlahan dan matanya tampak berkilat lembut. Makhluk itu menyukai sang bocah yang masih tertidur dengan damai.<br /><br />Tiba-tiba serangkum hawa dingin dirasakan makhluk itu datang dari jurusan di mana Yeti Kelam sedang berdiri. Rupanya setelah sia-sia upayanya tadi menumbuk tembok di sana-sini, ia akhirnya terdiam. Dan saat teringat pada bocah yang menjadi tujuan tugasnya baru disadari bahwa ada sesosok Tohbatu yang telah mengendok anak itu dengan lengannya yang luar biasa panjang. Tanpa berpikir panjang segera ia melontarkan pukulan Badai Angin Dinginnya kepada makhluk itu, tak terpikir bahwa hawa pukulan itu pun dapat melukai sang bocah.<br /><br />Alih-alih terlempat, dengan tenang makhluk itu hanya mengankat lengannya yang panjang seperti mengatakan "silakan" dan batu-batu yang ada disekitarnya tiba-tiba bertumbuh membentuk dinding tinggi yang menahan pukulan Yeti Kelam. Terlindung oleh dinding buatannya itu sang Tohbatu tampak kembali tercurah perhatiannya kepada sang bocah dan kembali memandanginya. Sementara di belakang dinding batu sana, Yeti Kelam tampak memukul-mukul dinding batu dan kembali mencoba pukulan Badai Angin Dinginnya. Akan tetapi sudah dipastikan sia-sia.<br /><br />Makhluk itu hanya kemudian melirik sedikit kepada Yang Ling Ie yang masih pingsan itu untuk kemudian kembali memandangi bocah dalam genggamannya. Tiba-tiba terdengar bisikan lirih, "Asupasu, cepat bawah bocah itu dan ibunya! Sebentar lagi malam dan dinding batumu tak tahan terhadap sinar bulan!" Demi mendengar suara itu, Tohbatu yang dipanggil Asupasu segera berjalan menuju Yang Ling Ie, mengambilnya dan memanggul wanita itu dipunggungnya yang melengkung. Dalam satu helaan napas ia segera tenggelam dalam lantai batu di bawahnya. Menghilang tanpa bekas.<br /><br />Perlahan-lahan malam pun merambat naik. Sinar matahari mulai menghilang dan mulai digantikan oleh sinar bulan. Yeti Hitam yang tadinya sudah terduduk letih dan putus asa. Tampak memperhatikan dinding batu terbaru yang masih segar menghalanginya. Dinding itu tampak perlahan-lahan luntur dan meninggalkan ruang yang tadinya ditutupi. Hanya tersisa bekas-bekas hancuran batu akibat pukulannya tadi. Juga dinding di dua sisi lainnya, yang tadinya menghalangi ia untuk keluar dari tempat itu. Semua dinding penghalan telah lenyap. Dan lenyap pula orang yang menjadi tujuan tugasnya.<br /><br />"Arrrrgggghhhh!!!" raungan keras Yeti Kelam terdengar membahana memecah kesunyian dan kegelapan di Lorong Utara itu. Ia benar-benar marah dan kesal karena buruannya lepas di depan matanya. Ia kalah oleh seorang Tohbatu. Makhluk yang tidak ia perkirakan semula dapat ditemui di tempat ini.<br /><br />Tiba-tiba terdengar langkah-langkah di belakangnya. Tampak sesosok bayangan berlari diikuti oleh beberapa langkah kaki. Demi melihat sosok bayangan tinggi besar di depannya, bayangan yang tampak dikejar itu segera berlutut memberi hormat, "Paman Yeti.., mereka ini.. adalah pengawal sang bocah..," katanya dengan napas yang tersengal-sengal. Sedari tadi ia hanya berlari dan berlari. Setelah kesasar ke sana-ke mari, secara kebetulan ia bertemu dengan kalangan yang lebih tua yang juga ditugaskan untuk melengkapi misi yang sama.<br /><br />"Minggir, kamu!!" teriaknya sambil mengibaskan tangannya. Dengan deruan angin dingin menusuk tulang, orang tersebut terlontar ke atas kepala Yeti Kelam. Dengan bersalto beberapa kali ia berhasil mendarat dengan selamat di sisi lain lorong itu, membiarkan Yeti Kelam berhadapan langsung dengan para pengejarnya. "Kabarkan pangeran kegagalan misi ini!" ucapnya pelan sambil bersiap-siap menghadapi Si Tongkat Pendek dan dua orang tersisa dari Empat Ruyung Hitam.<br /><br />Orang baru dilontarkannya itu mengangguk dan segera menghilang dari dari sana. Saat yang bersamaan dua orang tersisa dari Empat Ruyung Hitam tampak meloncat pada saat yang hampir berurutan ke atas menyerang Yeti Hitam dari arah langit, menghujam ke bumi. Sementara itu Si Tongkat Pendek menyerang dengan kedua tongkatnya ke arah pembuluh darah-pembuluh darah penting di badan Yeti Hitam. Dengan mendengus perlahan Yeti Hitam hanya mengangkat sebelah tangannya mengibaskan angin dinginnya ke atas sambil merendahkan kuda-kuda dan tangan satunya meyampok ke depan. Cukup angin pukulannya saja kedua tongkat Si Tongkat Pendek tertahan dan ia mundur satu dua langkah dengan bibir menggigil. Sementara itu kedua orang yang tadi melompat tampak bersalto balik dan tiba di belakang Yeti Hitam sambil bergemeretuk giginya menahan hawa dingin yang mulai merasuki dada mereka.<br /><br />"Kalian harus membayar kegagalan tugas ini dengan nyawa kalian!!" desisnya. Ia melihat bahwa dalam segebrakan bahwa lawannya ini tak berharga untuk dikeluarkan tenaga sepenuhnya. Hanya dengan seperempat tenaga, sudah cukup mereka terluka dan terbunuh nanti.<br /><br />Tak menanti terlalu lama, Yeti Hitam segera bergerak dengan cepat. Tangannya yang besar mendorong dengan cepat ke arah Si Tongkat Pendek yang tak siap untuk mengelak atau pun menangkis. Segera tampak wajahnya memucat dan kaku. Tubuhnya membeku dingin. Mati. Dua raungan keras dari belakangnya mengantarkan dua pukulan ruyung dari atas dan bawah demi mereka melihat rekan mereka mati membeku. Tanpa memandang sebelah mata, Yeti Kelam hanya mengembangkan kedua tangannya dan mengayunkan ke belakang sambil menunduk, ucapnya "Hehhh!!" dan dua rangkum hawa dingin dari pukulan Badai Angin Es menerpa mereka. Mengempaskan mereka terbang bagai layang-layang putus dan mendarat dengan bunyi berderak di dinding batu. Sebelum tulang punggung mereka patah akibat benturan itu, tampaknya hawa luar biasa dingin itu telah mencabut nyawa keduanya.<br /><br />Dengan mendengus seakan mendapat lawan yang tidak setimpal ia pun berlalu dari sana. Berjalan menyusuri arah yang tadi diambil rekannya.<br /><br />Tak berapa lama seperginya Yeti Kelam, tampak beberapa sosok Tohbatu muncul dari lantai dan dinding batu sekitar lorong itu. Mereka bergerak ke arah jasad-jasad yang beru saja melepaskan nyawanya. Mereke mengambil jasad-jasad tersebut, memanggulnya dan kemudian menghilang kembali ke dalam dinding batu di kiri-kanan lorong itu. Hal yang sama pun terjadi di mana pertempuran sebelumnya yang menewaskan dua orang Empat Ruyung Hitam dan tiga orang Su Siaw Mo. Sekarang di tempat-tempat tersebut hanya warna merah kehitaman, darah yang mengering, yang menjadi saksi bahwa di tempat itu pernah terjadi suatu pertarungan.<br /><br />Sesosok bayangan tampak muncul di atas dinding lorong yang menjulang tinggi itu. Ia memperhatikan pekerjaan para Tohbatu membersihkan lorong dan gang dari sisa-sisa pertempuran. Ia tampak menghela napas. Lalu gumamnya, "Akan banyak orang datang ke sini. Tempat ini tidak akan tenang seperti semula lagi..." Ia pun menggeleng-geleng dan terlihat sedih.<br /><br />Lalu tampak sesosok bayangan muncul di sampingnya. Tohbatu yang bernama Asupasu tadi. "Bocah itu sudah kuserahkan pada Pek Liong Nionio," katanya yang bersuara dengan tidak membuka mulutnya melainkan dua buah gelambir pada sisi-sisi pipinya, sehingga suaranya tampak terdengar dari kiri dan kanan.<br /><br />"Terima kasih, Asupasu!" ucap orang tua itu.<br /><br />"Engkau menyukai bocah itu, bukan?" tanya orang tua itu sesaat setelah diam menyelinap di antara mereka.<br /><br />Asupasu mengangguk.<br /><br />"Dan engkau mau menjadi saudaranya?" tanyanya lagi.<br /><br />Kembali Tohbatu itu mengangguk.<br /><br />"Baik, jika begitu. Setelah keduanya terbiasa tinggal di sini, kita langsungkan upacara pengangkatan saudara," ucapnya sambil menepuk lengan Asupasu, yang dibalas olehnya dengan lengannya yang lain.<br /><br />"Baiknya kita melihat mereka di tempat Pek Liong Nionio," ucap orang tua itu kemudian.<br /><br />Lalu berlompatanlah mereka dengan cepat dari satu batu ke batu lain menuju suatu dataran batu yang lebih tinggi, di mana di sana tampak dari kejauhan lubang-lubang jendela pada dinding batu. Pemukiman di daerah Gua Susun Utara. Daerah yang konon hanya diceritakan tapi tidak ada orang yang pernah masuk dan kembali keluar untuk menceritakannya.<br /><br />Sementara itu Yeti Kelam tampak telah menuruni tangga di luar Lorong Utara. Ia berjalan pelan-pelan dengan masih tersisa kesal di dalam hatinya atas kegagalannya hari itu. Di kejauhan ia melihat bahwa rekannya yang diutus untuk memberi kabar kepada pangeran tampak berlutut di depan seseorang yang sedang mengangkat tangannya dan dengan cepat menepuk kepala orang itu. Orang itu pun tampak tersengal sebentar untuk kemudian rebah ke samping dengan masih posisi berlutut. Cairan merah nampak perlahan menyebar di lantai dekatnya. Pendarahan dari kesembilan lubang tubuh.<br /><br />"Hmmm, kakak Awan Kelam masih saja tak memberi ampun terhadap kegagalan..," desisnya.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5084831610990246112.post-52243844796398903412007-07-09T14:50:00.000+02:002007-07-09T18:02:00.683+02:00Penghuni Baru Lorong UtaraAngin berhembus dengan kencang. Menderu-deru di setiap sela-sela batu-batu besar menjulang. Sela-sela yang juga berfungsi sebagai jalan para makhluk penghuni tempat itu untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lorong disebutnya. Terdapat empat lorong utama yang dinamai seperti nama empat mata angin utama, yaitu Lorong Utara, Lorong Timur, Lorong Selatan dan Lorong Barat. Masing-masing lorong dibagi lagi dalam lorong-lorong lebih kecil yang disebut gang. Jumlah gang tidak selalu sama dalam tiap lorong, tergantung kepadatan penghuni di tempat itu.<br /><br />Hari itu, hari di saat mana angin lebih kencang bertiup dari hari-hari biasanya, tampak sebuah rombongan berjalan pelan-pelan sambil berusaha melawan terpaan angin yang kebetulan sedang berlawan arah dengan tujuan mereka. Lorong Utara, lorong yang berhadapan langsung dengan Laut Utara di ujung luarnya. Mereka tampak baru mendarat di pantai dan bergegas menaiki tangga yang tinggi untuk mulai memasuki Lorong Utara, salah satu pintu masuk rangkaian pemukiman Gua Susun Utara. Jikalau Lorong Utara dinamai karena terletak di bagian utara rangkaian pemukiman itu, Gua Susun Utara dinamai karena ia tertelak di bagian utara dari daratan Tlatah Nusantara. Sebagaimana di selatan terdapat Gunung Berdanau Berpulau dan Padang Batu-batu, di tengah Gurun Besar dan Lembah Batu Bintang, di timur ada Rimba dan Gunung Hijau, serta di barat ada Gunung Api Kembar dan Air Jatuh, maka di utara, sejauh dikenal orang, terdapat Pegunungan Karang Utara, tempat yang dalam karang dan batu-batu gunungnya selama ratusan tahun telah dipahat dan dioleh menjadi suatu pemukiman bersusun-susun dari bawah ke atas. Gua Susun Utara. Tidak banyak orang di Tlatah Nusantara yang pernah singgah di tempat ini karena satu dan lain hal.<br /><br />Rombongan yang terdiri dari beberapa orang pemikul tandu dan orang-orang yang berjalan di depan dan di belakangnya. Menilik dari adanya tandu, jelas orang yang datang itu agak berada atau setidaknya perlu penanganan khusus sehingga tidak perlu berjalan dengan sendirinya. Kereta dan kuda tidaklah dapat naik sampai tinggi ke lorong-lorong di daerah Gua Susun Utara. Tandu ini pun kelihatannya demikian. Apabila hendak memasuki gang-gang yang lebih kecil, mungkin pemilik tandu tersebut perlu dipanggul oleh satu orang saja. Tidak cukup lebar suatu gang untuk sebuah tandu dan orang dalam arah berlawanan untuk melewatinya.<br /><br />Rombongan itu tidak terlihat tergesa-gesa dalam perjalanannya menyusuri lorong utara itu. Tapi dari lusuhnya baju dan kusamnya rambut mereka, bisa diduga bahwa mereka telah lama melakukan perjalanan. Dan dari arah mereka datang, bisa diperkirakan bahwa mereka datang dari arah laut. Bisa banyak tujuan mereka dari arah utara. Salah satunya adalah Pulau Kern. Pulau di mana pusat pemerintahan Tlatah Nusantara berada.<br /><br />Setelah melewati beberapa muka gang yang sempet, rombongan itu pun berhenti di suatu tusuk sate. Orang terdepat tampak melihat ke kiri dan ke kanan, bimbang jalan mana yang akan dipilihnya untuk meneruskan perjalanan.<br /><br />Tiba-tiba sebuah suara jernih dan lembut tampak terdengar keluar dari balik tandu itu, cukup jelas mengatasi deruan angin yang masih terus-menerus bergemuruh, "Paman Yang, kita belok ke kanan!"<br /><br />Orang yang dipanggil paman Yang itu mengangguk dan melangkahkan kakinya ke kanan. Tapi sebelum seluruh rombongan masuk ke jalan yang lebih sempit dibandingkan jalan sebelumnya dalam Lorong Utara, tampak reruntuhan batu-batu kecil meluruh perlahan di kiri-kanan jalan tersebut.<br /><br />"Cepat!!" seru seorang dari rombongan tersebut. "Tampaknya ada yang memperhatikan kedatangan kita." Dan batu-batu itu sebagai bukti bahwa ada seseorang atau lebih di atas sana yang tampa sengaja menjatuhkan kerikil atau pasir ke bawah, ke arah rombongan tersebut.<br /><br />Jika tadinya rombongan itu berjalan dengan perlahan, demi mendapat perintah itu, mereka segera berjalan cepat seperti berlari. Langkah mereka yang ringan bahkan dengan tandu di antara mereka segera membawa mereka jauh dari tikungan tusuk sate tersebut.<br /><br />Sementara itu beberapa sosok bayangan jauh di atas jalan tersebut, di batu-batu karang yang menjulang tak jelas akhirnya, tampak berloncatan mengikuti rombongan yang segera menghilang di suatu tikungan dinding batu di depan sana.<br /><br />"Cepat, nanti mereka hilang!" ucap salah seorang dari mereka.<br /><br />Di balik tikungan yang menyembunyikan sebentar rombongan itu tampak sesosok bayangan keluar dari tandu sambil menggendong seseuatu di dadanya. Ia bergerak dengan cepat masuk ke dalam suatu gang kecil yang ia temui pertama kali. Setelah ia menghilang rombongan bertandu itu segera berlari kembali masih dalam jalan yang sama. Berjalan dengan ringan dan cepat.<br /><br />"Itu mereka!!" seru sebuah suara nun jauh di atas sana demi melihat rombongan tujuan mereka berlari dengan cepat berusaha menyembunyikan diri.<br /><br />"Kita ambil saja sekarang?" ucap salah seorang dari mereka.<br /><br />Rekan-rekannya mengangguk mengiyakan. Lalu bagai dikomando dengan ringan mereka melompat turun dari ketinggian yang menggirisi untuk berloncatan sig-sag di dinding curam dari kiri-kanan jalan yang sempit itu sehingga sampai di depan dan di belakang rombongan bertandu itu.<br /><br />"Tahan!!" ucap seorang yang mendarat ringan di depan rombongan itu. Menghalangi jalan dengan menyilangkan goloknya di depan dada.<br /><br />"Su Siaw Mo (Empat Setan Kecil), mau apa kalian?" ucap orang yang tadi dipanggil paman Yang.<br /><br />"Kami mau bocah itu!" ucapnya sambil menunjuk pada tandu yang tampak bergoyang-goyang ditiup angin. Tak ada tanda-tanda gerakan di dalamnya.<br /><br />"Tak akan ia kami berikan kepada kalian!!" ucap paman Yang sambil meloloskan sepasang tongkat pendeknya.<br /><br />"Yang Seng Kian, kamu tahu kepiawaianmu memainkan tongkat pendek itu. Tapi lebih baik engkau sayangkan nyawamu dengan menuruti kehendak kami," ucap salah seorang dari Su Siaw Mo yang mengepung rombongan itu dari belakang.<br /><br />Tanpa kata-kata keempat pemikul tandu itu segera meletakkan tandu mereka dan menarik pokok kayu yang tadi mereka letakkan di pundak mereka. Tampak empat buah besi panjang dengan gagang kayu keluar dari sana. Rupanya gagang tandu itu disamarkan sebagai tempat mereka menyimpang senjata mereka. Walaupun terbuat dari besi tetapi ujung senjata itu ternyata tumpul, hanya sisi-sisi besinya yang membundar tampak kasar dan bergerigi. Ruyung panjang dan hitam.<br /><br />"Bagus, bila kalian telah memutuskan!!" ucap seorang lain dari Su Siaw Mo. "Empat Setan Kecil melawan Empat Ruyung Hitam dan Si Tongkat Pendek..., serahkan nyawa kalian!!"<br /><br />Segera pertempuran pun terjadi. Dari rombongan bertandu itu beberapa orang memang sama sekali tidak bisa berkelahi dan karena mereka berada di antara Empat Ruyung Hitam dan dua orang Su Siaw Mo, mau tak mau mereka menjadi korban keganasan pertempuran itu. Tak ada tempat untuk menyembunyikan diri atau berlari di dalam lorong yang sempit itu.<br /><br />"Egggghhh!! Crot!!!" tampak segera beberapa tubuh dari rombongan itu selain Empat Ruyung Hitam dan Si Tongkat Pendek telah bersimbah darah dan berjajar mati di atas lantai batu jalan itu. Perkelahian antara Si Tongkat Pendek dan dua orang Su Siaw Mo tampak seimbang. Hal ini bukan karena kepandaian Yang Seng Kian dua kali dari seorang Su Siaw Mo, melainkan karena sempitnya jalan yang berdinding batu tinggi sehingga serangan dua orang itu tidak dapat dilakukan sekaligus berbareng tanpa melukai teman sendiri. Praktis Yang Seng Kian hanya bertarung satu saat dengan satu Su Siaw Mo saja.<br /><br />Demikian pula dengan dua orang lain dari Empat Setan Kecil dan Empat Ruyung Hitam. Mereka harus menunggu rekannya menyerang dan menarik kembali serangannya sebelum bisa menindak maju dan melemparkan gempuran-gempuran mereka. Pertempuran yang kaku dan tidak mengenakkan.<br /><br />Tiba-tiba saat pertempuran masih berlanjut dengan seimbang karena kondisi tempat yang menyulitkan, seorang Su Siaw Mo tampak melemparkan goloknya lurus menuju ke arah kelambu dari tandu yang diam di antara dua kelompok pertempuran itu. Terkejut atas serangan itu seorang Empat Ruyung Hitam tidak sempat menangkis sehingga golok tersebut dengan mulus menyobek kelambu dan memperlihatkan lubang kosong dengan tanpa seorang pun di dalamnya.<br /><br />"Celaka, kita tertiput!!" raung seorang Su Siaw Mo demi melihat hasill sambitan itu.<br /><br />Tapi sebelum ia bisa menyerukan perintah untuk mundur kepada teman-temannya karena pertempuran ini tidak ada gunanya, sesosok tubuh tampak maju dengan nekad tak menghiraukan akibat dari serangannya itu. Seorang dari Empat Ruyung Hitam. Mau tak mau terpaksa seorang Su Siaw Mo membacokkan goloknya membabi-buta akan tetapi orang itu tidak melepaskan rangkulannya setelah berhasil memeluk erar-erat pinggang lawannya. Kesempatan paniknya seorang Su Siaw Mo itu segera digunakan oleh seorang Empat Ruyung Hitam melemparkan ruyungnya dan menembus kepada lawannya. Demi melihat rubuhnya rekannya itu seorang Su Siaw Mo yang berada di dekat situ tampak menurun semangatnya dan berusah mundur untuk melarikan diri. Lawannya tidak membiarkan hal itu ia mengejar terus dengan serangan yang nekad. Dan kejadian yang sama pun berlangsung. Dengan mengorbankan satu rekan, Su Siaw Mo ini pun dapat ditewaskan. Sekarang tinggal dua orang Su Siaw Mo dan dua orang Empat Ruyung Hitam ditampah Si Tongkat Pendek.<br /><br />"Kita harus membuat laporan!" ucap seorang Su Siaw Mo yang segera memberi isyarat kepada temanya untuk melarikan diri.<br /><br />Tak bisa dua orang dari Empat Ruyung Hitam dan Si Tongkat Pendek mencegahnya karena jalan lari terhalang bulat-bulat. Tiba-tiba seorang dari Empat Ruyung Hitam berseru keras dan ia meloncat tinggi dari atas lontaran rekannya, bersalto beberapa kali dan melewati sang penghadang di jalan sempit itu. Saat sang penghadang lengah akibat terobosan di atasnya. Tusukan tongkat pendekt masuk ke dada dan ulu hatinya. Dengan muntah darah segar dan dada remuk, ia pun menghembuskan napas terakhirnya.<br /><br />"Cepat, kita harus tangkap orang itu!" ucap Si Tongkat Pendek sambil berlari mengikuti seorang Empat Ruyung Hitam yang tadi bersalto tinggi itu. Rekannya segera menggangguk mengikuti. Tampak bahwa sisa terakhir Su Siaw Mo telah hilang dari pandangan. Tapi dari jejaknya tampak ia menuju kembali ke arah Lorong Utara.<br /><br />Sementara itu sesosok bayangan tampak berlari-lari dengan napas yang terengah-engah. Seorang wanita. Ia berjalan cepat menyusui lorong-lorong sempit dan gelap karena sinar sang surya tidak dapat sepenuhnya mencapai gang sempit berdinding tinggi menjulang itu. Ia tahu rekan-rekanny pasti telah ada yang hilang nyawanya. Su Siaw Mo bukan kalangan biasa dalam hal orang-orang suruhan. Mereka hanya tertarik dalam hal-hal khusus dan tidak mutlak dari jumlah pembayaran saja. Ada yang bilang mereka adalah keturunan dari Asasin, kelompok pembunuh bayaran terkenal di masa lalu. Hanya anehnya kenapa mereka hanya menyuruh Su Siaw Mo dan tidak Jäger atau pemburu yang lain, yang lebih cepat menemukan jejak buruan-buruannya. Mungkin mereka meremehkan penjagaan oleh Si Tongkat Pendek dan Empat Ruyung Hitam sehingga rombongan itu bisa selamat sampai di daerah Gua Susun Utara.<br /><br />Napas wanita itu semakin memburu. Keringat bercucuran dari peluhnya. Belum lewat dua bulan ia melahirkan bocah dalam gendongannya itu dan sekarang sudah ia harus membawa pergi sang anak untuk diselamatkan dari orang-orang yang tertarik untuk memilikinya.<br /><br />Tiba-tiba bulu romanya berdiri. Ia merasakan ada kekuatan hitam dan dingin menyergap cepat dari belakangnya. Mengirimkan Keberadaan. Itu adalah salah satu bentuk menyatakan adanya seseorang kepada lawan atau kawannya dengan merambatkan hawa keberadaan. Bisa juga untuk menyerang secara langsung atau secara gelap.<br /><br />Saat ia berbalik, tampak di hadapannya seorang bertubuh besar dengan rambut riap-riapan berkibar-kibar, walau tanpa angin bertiup saat itu. Angin rupanya tidak ingin menjadi saksi dari kematian yang akan terjadi. Sakinb besarnya tubuhnya, ia tampak hampir menutupi gang sempit itu. Tapi anehnya ia tak tampak kesempitan atau takut terbentur pada dinding-dinding di sisinya. Ia bak hawa air atau udara yang mengalir di antara diding-dindin batu yang bertonjolan atau pun rata itu.<br /><br />"Yeti Kelam!!" desis perempuan itu. Benar seperti dugaannya orang-orang suruhan itu ternyata tidak hanya mengirim Su Siaw Mo melainkan juga orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya. Dan Yeti Kelam ini dikabarkan telah membunuh ratusan orang dan bukan hanya orang biasa, melainkan jago-jago ilmu beladiri dan juga makhluk-makhluk lain seperti Minatour, Troll, Undinen dan ikan Kloakan.<br /><br />"Yang Ling Ie, pengkhianatanmu ini masih bisa dimaafkan oleh pangeran apabila engkau mau menyerahkan bocah itu kepadaku," bujuknya dengan perlahan. Bukan tabiatnya untuk berbasa-basi. Tapi di tempat ia tidak dengan mudah bergerak ini, ia tidak mau mencelakakan orang yang menjadi tujuan tugasnya ini. Orang yang dipanggilnya pangeran adalah pelanggan yang tidak boleh sampai dikecewakan.<br /><br />"Yeti Kelam, sampai titik darah penghabisan aku akan pertahankan ia dengan nyawaku. Kalian.., kalian bisanya hanya memanfaatkan nyawa saja. Dan bahkan bocah sekecil ini!!" katanya sambil tak terasa air matanya berlinang turun saat melihat anak dalam gendongannya yang tampak dengan damai tidur. Tak sadar bahwa ibunya berada alam keadaan dekat dengan gerbang kematian.<br /><br />Sekejap kerlingan itu sudah cukup bagi Yeti Kelam untuk bergerak maju, melayang pelang di antar sempitnya batu-batu di sisi-sisi gang itu, mengangsurkan tangannya dan memijit perlahan kening Yang Ling Ie yang segera tersungkur. Segera ia menangkap tubuh lunglai itu dan juga bayinya. Selesai sudah tugasnya. Dua orang ini, yang satu adalah ibunya, yang masih perlu untuk kelanjutan hidup sang bocah, telah berada di tangannya. Dan sekarang adalah saatnya untuk kembali.<br /><br />Tapi saat ia berdiri sambil memanggul tubuh pingsan itu di pundaknya dan bocah itu dalam dekapannya, tak dilihatnya jalan keluar. Ia berpikir mungkin itu adalah jalan yang dituju oleh Yang Ling Ie tadi, mengantar pada jalan yang buntu. Tapi saat ia berbalik. Juga ditemuinya jalan buntu yang lain. "Tak mungkin!!" desisnya. Tiba-tiba saja buku kuduknya meninggi. Ia pernah mendengar bahwa daerah Gua Susun Utara, mengapa tidak banyak orang bercerita mengenainya, dapat berpindah-pindah lorong-lorong batunya, terutama di bagian Lorong Utara dan gang-gang kecilnya. Dan saat orang terperangkap di dalamnya, tak ada jalan keluar kecuali memanjat tingginya dinding yang menjulang bagai tak berakhir. Atau berakhir di sana menjadi penghuni baru daerah itu. Penghuni dalam arti sebagai penghuni abadi Lorong Utara.Unknownnoreply@blogger.com0