Sebuah Ramalan Gendeng
Nein Arimasen | 18:10 |
"Brakk!!!" sebuah pukulan tangan di atas meja kayu memecahkan keheningan dalam ruangan itu.
"Maaf, pangeran!" ucap sebuah suara dari dua orang yang berlutut di hadapan orang yang sedang marah itu.
"Bagaimana kalian.., dua orang Pilar Hitam saja.., tidak dapat mengambil bocah itu kembali dari para penghianat!!" ucap orang itu kembali. Kali ini nada suaranya telah agak melunak. Ya, ia dan kedua orang yang berlutut di hadapannya sebenarnya berkedudukan hampir setara. Hanya karena darah yang mengalir di tubuhnyalah ia memiliki sedikit kelebihan dalam pemerintahan di tempat itu. Pangeran Ketujuh.
"Bangkitlah, bangkitlah kalian..!" ucapnya seraya menyongsong kedua orang itu. Ketiganya segera duduk bersama di sebuah meja kayu besar di dalam ruangan itu. Muram wajah ketiganya.
"Tak disangka bahwa orang-orang Gua Susun Utara atau hanya penghuni Lorong Utara, ikut membantu para pelarian itu..," ucap Pangeran Ketujuh getir.
"Ya, kami sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu, pangeran," ucap Yeti Kelam yang merupakan salah seorang dari dua orang itu.
"Benar, kami terlalu meremehkan bantuan tak terduga dari tempat itu," ucap Awan Kelam memperkuat perkataan adik angkatnya.
"Kalian tahu betapa pentingnya bocah itu berada di pihak kita? Ini akan sangat memperkuat kedudukan kita di antara para pemilih dan rakyat di kota ini," ucap Pangeran Ketujuh lagi.
"Ya, pangeran!" ucap keduanya hampir berbarengan.
Tiba-tiba suasana tak nyaman itu dipecahkan oleh tawa seseorang yang membahana. Dengan hawa tenaga dalam dan akustik ruangan yang megah, suara itu semakin bertambah besar dan menggetarkan jantung pendengarnya. Cepat-cepat kedua Pilar Hitam mengatur napas mereka untuk menangkan isi perut mereka seraya juga meletakkan tangan mereka di dada dan punggung Pangeran Ketujuh. Di antara mereka bertiga, Pangeran Ketujuh adalah yang paling rendah ilmu beladirinya.
"Singa Laut Emas, munculkanlah dirimu! Jangan buat pangeran terguncang dengan ketawamu itu!!" ucap Awan Kelam setelah mereka berhasil melawan akibat dari tawa yang membahana itu.
Tak lama berselang sesosok bayangan dengan tubuh tinggi besar, bahkan lebih tinggi dari Awan Kelam dan Yeti Kelam yang sudah lebih tinggi dari kebanyakan orang, berambut riap-riapan berwarna emas tampak melayang masuk. Ringan langkahnya, tidak cocok dengan bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi.
"Singa Laut Emas datang menghadap!!" katanya sambil berlutut di hadapan Pangeran Ketujuh. Tampak ia hanya menggunakan satu lengannya untuk memberi hormat karena lengan yang lain tampak sibuk menggendong sesuatu.
"Apa yang membawamu kemari, Singa Laut Emas?" tanya Pangeran Ketujuh. Orang ini adalah salah satu pembantu andalannya disamping kedua Pilar Hitam.
"Saya datang membawa pemecahan masalah pangeran dan kedua rekan ini," katanya sambil menunjuk ke arah kedua Pilar Hitam.
"Maksudmu..? Engkau mendapatkan bocah itu?" tanya Yeti Kelam tak percaya. Walaupun Singa Laut Emas bertubuh lebih besar dan tinggi, ia yakin kemampuannya tidak jauh berbeda dengan dirinya dan juga kakaknya. Jadi ia tidak yakin bila orang itu dapat menyelesaikan tugas mereka dengan merebut bocah itu kembali yang telah jatuh ke tangan penghuni Gua Susun Utara.
"Bukan bocah yang kita cari.., tapi bocah lain dengan waktu lahir yang sama dan bentuk muka dan juga tempat dalam daerah yang sama..," ucapnya jumawa.
"Maksudmu..? Anak ini juga berasal dari daerah yang sama, bagian kota yang sama dengan bocah itu?" tanya Awan Kelam tak percaya.
Singa Laut Emas mengangguk membenarkan.
"Dan orang tuanya?" tanya Yeti Kelam.
Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Melihat dari sorot mata Singa Laut Emas, tersirat jelas bahwa orangtua dari bocah dalam gendongannya itu telah dibereskan selamanya olehnya.
"Hahahaha!!!" membahana tertawa empat orang itu karena apa yang mereka rencanakan tidak tertunda dengan lolosnya sang bocah di Gua Susun Utara.
Tawa keempatnya terhenti saat bocah dalam gendongan Singa Laut Emas terbangun dan mulai mulai menangis. Saat diambil dari kedua orang tuanya, sang bocah telah ditotok secara halus oleh Singa Laut Emas sehingga tidak menimbulkan kecurigaan saat dibawa. Di saat ini pengaruh totokan itu telah habis. Rasa haus, lapar dan juga ketidaknyamanan akibat suara tawa yang keras mengusiknya dan membuatnya menangis dengan keras.
Dengan segera Pangeran Ketujuh memanggil dayang melalui pengawal dalam ruangan tersebut untuk mengurus bocah kecil yang belum genap berumur dua bulang. Kepada para dayang ia hanya memberitahukan bahwa itu adalah anak angkatnya. Dan diperintahkan untuk tidak menceritakan kepada siapa-siapa perihal anak itu dan bagaimana bisa tiba di sini. Dayang-dayang yang patuh itu hanya mengangguk dan mengundurkan diri sambil membawa si bocah yang sudah agak reda tangisnya karena telah dimomong seorang wanita. Mungkin seseorang yang mengingatkan ia pada sosok ibunya.
Sepeninggalnya para dayang, keempat orang itu kembali duduk di meja kayu besar dalam ruangan itu. Keempatnya kembali membicarakan rencana-rencan mereka berkaitan dengan keberadaan sang bocah.
"Pangeran, bisakah diperdengarkan kembali bagaimana bunyi ramalah itu sebenarnya?" bertanya Singa Laut Emas tanpa tedeng aling-aling. Ia adalah seorang kasar dan jujur. Hanya sayang keberpihakannya pada uang dan kekuasaan telah membawanya kepada teman-teman yang jahat dan keji.
"Perlukah?" tanya Pangeran Ketujuh balik kepada Singa Laut Emas.
"Jika kita mau mengerjakan rencana ini bersama-sama, ya.. aku ingin mendengarnya. Dan aku pula yang mendapatkan anak itu mengantikan bocah yang tidak bisa kita dapatkan itu," katanya sambil melirik ke kedua Pilar Hitam. Yang dipandang tampak menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangan menahan jengkel.
"Sudah.., sudah!!" ucap Pangeran Ketujuh demi melihat memanasnya suasana, "sesama rekan kita tidak boleh saling berseteru."
Setelah kedua pihak yang saling bersaing merebut kepercayaan pangeran itu mulai mendingin, mulailah Pangeran Ketujuh membacakan ramalan yang didengarnya,
"Di malam terang bulan,
angin tidak bertiup,
dan air laut surut,
turun naga dari langit,
yang akan memerintah pusat (Kern).
Naga muncul di pusat (Kern)
tidak di tengah tapi di selatan,
di rumah berdinding kayu hitam,
bersaudara dengan batu,
berkawan dengan air, dan
dilindungi oleh tanah."
"Hmmm, jadi itu yang menunjukkan jika ia lahir di selatan kota ini dari pasangan pengantar berita?" tanya Singa Laut Emas.
"Begitulah..," jawab sang pangeran.
"Atau engkau ada ide lain untuk menafsirkannya?" tanya Awan Kelam. Suatu pertanyaan jujur dan juga menguji. Bila salah, berkurang nilai Singa Laut Emas di mata Pangeran Ketujuh.
Singa Laut Emas tidak saling menjawab. Ia tampak berpikir sejenak. "Jika demikian, demikianlah...," ucapnya. "Tapi pada hari yang sama aku temukan empat orang anak lahir. Dan dua berada di selatan kota ini. Walaupun hanya satu yang berasal dari pasangan pembawa berita."
"Dan itulah bocah yang hilang di daratan sana, Gua Susun Utara," desis Yeti Kelam. Bocah yang hilang di depan matanya karena ia tidak mampu mendobrak dinding batu buatan sesosok Tohbatu.
"Tenanglah, tidak ada yang tahu soal hilangnya bocah itu selain kita. Benar, begitu?" tanya Singa Laut Emas meyakinkan.
Ketiga orang dihadapannya mengangguk.
Lalu lanjutnya, "dan juga kalimat 'di rumah berdinding kayu hitam' tidak mengisyaratkan bahwa ia harus di rumah yang telah berbentuk begitu, kita dapat membuatnya menjadi begitu. Dan aku telah melakukannya."
Menggeleng-geleng kepala ketiga orang yang duduk di hadapan Singa Laut Emas demi mendengar apa-apa yang telah dilakukan oleh orang itu untuk mencocokkan isi ramalan dengan bocah yang dibawanya tadi.
"Engkau benar-benar tidak meninggalkan celah untuk keragu-raguan, kakak Singa Laut Emas!" ucap Yeti Kelam. Ia menjadi kagum atas kepintaran rekan dan juga saingannya itu.
"Untuk saat ini, ya!" ucapnya merendah. "Tapi di lain waktu, kalian mungkin lebih jeli dari aku!"
Bergelak mereka atas suasana yang telah mencair itu. Dengan tepukan tangan, muncullah dayang-dayang dengan minuman berkohol, bahan yang dapat membuat orang gembira dan lupa kesusahannya. Dengan minuman berkohol orang-orang dapat selalu gembira dan tertawa berlama-lama.
"Ayo.., ayo!! Kita rayakan awal rencana ini!!" kata Pangeran Ketujuh sambil mengangkat wadah minumnya dan disambil oleh tiga orang yang lain, yang segera meneguknya dengan cepat dan menghentakkan wadah minim masing-masing dengan keras di atas meja. "Lagi!!" ucap masing-masing hampir bersamaan. Dayang-dayang pun lalu melayani. Dan minum-minum pun berlanjut sampai pagi.
Sementara itu jauh dari sana tampak seorang nenek tua menangisi anak dan mantunya yang bersimbah darah. Mantu perempuannya yang baru saja melahirkan anak, belum genap berusia dua bulan tampak membelalak penasaran saat nyawanya meregang. Sebuah jarum besar tampak di dahinya, walaupun kecil, jarum dengan bagian tengahnya kosong kosong itu mengalirkan darah dari isi kepada dan pembuluh lainnya membuat wajah nyonya muda itu berwarna merah mengering mengerikan dengan bola mata membelalak berwarna putih. Mirip dengan suaminya, yang tapi terpejam matanya, darah juga membasahi sekujur wajahnya. Kali ini jarum menembus hidungnya dan melesak dalam, meninggalkan titik kecil yang meneteskan cairan merah mengering perlahan-lahan.
Nuansa corak merah kehitaman melebar melingkupi kedua sosok itu yang tergeletak dengan posisi aneh di atas lantai. Seakan-akan keduanya disusun berbentuk lambang dua unsur yang berlawanan. Suatu kejahatan keji yang oleh pelakunya masih diatur supaya meninggalkan tanda-tanda khasnya.
Paturan yang berdatangan atas laporan warga yang mendengar jeritan nenek Hwa tidak dapat dapat menemukan jejak apa-apa. Pintu rumah itu masih tertutup, hanya jendelanya meninggalkan sedikit bercak darah. Lain tidak. Tidak ada tanda-tanda siapa pelakunya. Dari hasil tanya sana-sini, Paturan hanya dapat menyimpulkan bahwa kedua pasangan muda yang menjadi korban itu ramah terhadap tetangganya dan tidak terlihat memiliki musuh yang sampai dapat berlaku sekeji itu. Selain itu hilangnya bayi mereka juga menjadi suatu tanda tanya tersendiri.
"Cucuku Kiang Hu..., dimanakah engkau buah hatiku.. huhuhu!!" tangisnya sedih. Sebagai seorang tua yang sudah lama mendambakan cucu, terbunuhnya anak dan mantunya serta hilangnya cucunya merupakan suatu tekanan batin yang amat berat baginya. Kesadarannya hilang dihimpit kesedihan bertumpuk itu. Dari kemarin di mana ia berkeluarga dengan beberapa orang yang disayanginya, hari ini ia sebatangkara. Rasa sedih dan sepi bergegas menganggu jiwanya yang sudah tua dan tidak lagi kuat itu. Para tetangga berusaha untuk menenangkannya tapi tidak berhasil.
Sejak hari itu rumah keluarga Kiang menjadi tempat yang tidak terurus. Bekas kematian yang mengenaskan membuat orang takut untuk singgah di sana. Juga lolongan tangis dan tawa dari nenek Hwa yang telah menjadi gila semakin menjauhkan minat orang untuk singgah ke sana. Beberapa tetangga yang peduli telah mencoba mengurus nenek itu dan memberinya makan. Tapi nenek Hwa malah melempari mereka dan marah-marah, menuduh merekalah yang membunuh kedua anak dan memantunya serta menyembunyikan cucunya. Akhirnya tiadalah orang yang tahan untuk mengurusinya. Tinggalah nenek Hwa dalam keadaan yang menyedihkan dalam sisa-sisa rumahnya yang mirip rumah hantu yang tak terurus.
Desas-desus pun bermunculan berkaitan dengan kejadian itu dan juga menghilangnya sebuah bocah lain dengan ibunya yang kebetulan lahir pada hari dan jam yang berdekatan di bagian selatan kota itu. Pada keluarga itu, yang suaminya baru saja meninggal karena sakit, keluarga Thio tampak pada suatu hari dan hilang pada hari berikutnya. Semua orang yang tinggal di rumah itu. Hilang tak berbekas. Tidak ditemukan korban tapi tiada kabar kemana penghuninya. Biasanya ada beberapa orang dan juga paman keluarga Yang dari perempuan yang baru melahirkan bayinya itu, tinggal di tempat itu.
Berita pun ditiup-tiupkan bahwa ada kaitan antara kedua hilangnya bocah yang lahir pada saat yang sama, saat di mana air laut surut pada malam hari bulan purnama, yang berkebalikan dengan kebiasaan di tempat itu yang umumnya pasang. Keanehan itu dikabarkan terkait dengan lahirnya kedua bocah itu yang menandakan akan terjadinya suatu peristiwa besar. Demikianlah orang-orang yang sering bergunjing, peristiwa besar apa yang akan terjadi itu sendiri tidak dijelaskan.
"Di malam terang bulan,
angin tidak bertiup,
dan air laut surut,
turun dua naga dari langit,
yang akan memerintah pusat (Kern).
Kedua naga muncul di pusat (Kern)
tidak di tengah tapi di selatan,
di rumah berdinding kayu hitam,
baik asli maupun palsu,
bersaudara dengan batu,
berkawan dengan air, dan
dilindungi oleh tanah,"
"
terdengar nyanyian seorang pengemis lantang pada malam hari. Langkahnya yang gontai menandakan ia telah minum banyak air berkohol. Tawanya berhaha-hihi entah menandakan hatinya sedang gembira atau hanya akibat apa yang ia minum.
"Di malam terang bulan,
angin tidak bertiup,
dan air laut surut,
...,"
meneruskan ia bernyanyi. Langkahnya pun terhenti saat berada di luar rumah keluarga Thio. Lalu gumamnya pelan, "Ini tempat naga kedua turun..." Setelah memperhatikan sekilas ia pun kembali berdendang, menegak lagi kendi minuman berkohol yang dibawanya dan tertawa-tawa gembira.
Sesosok bayangan tampak berbicara kepada temannya, "Perlu diikuti pengemis itu?"
"Tidak perlu, kelihatannya dia bukan yang dimaksud oleh inspektur," jawab rekannya. Keduanya pun kembali menyembunyikan dirinya dari bayangan bulan yang sudah tidak lagi penuh, mengamat-amati siapa-siapa yang tertarik dengan rumah bekas keluarga Thio di malam hari.
0 Kommentare:
Kommentar veröffentlichen