Siasat Lawan Siasat
Nein Arimasen | 17:12 | 1 Kommentare
"Kalian berdua, tunjukkan kemampuan kalian!" ucap seorang bergaya jawara kepada dua orang yang baru datang.
"Baik!" sahut mereka berbarengan. Lalu mereka mengambil tempat dan mulai saling menyerang. Tendangan dan pukulan saling mereka lemparkan. Kelitan dan tipuan mengisi sela-sela benturan antara mereka.
"Dakkk!! Duggg!!" begitulah suara suara saat kaki dan tangan mereka beradu. Setelah sekian lama tiada yang terlihat kalah atau menang, keduanya mencabut golok masing-masing. "Trangg!!" benturan kedua golok mereka menggema di udara. Keduanya melompat mundur karena kedua tangan terasa kesemutan dan bergetar.
"Cukup!!" teriak orang yang mengamati dan menyuruh mereka tadi. "Tidak perlu sampai terluka. Bagus, bagus! Juragan pasti senang nanti."
Kedua orang tersebut saling menjura dan kemudian mundur bergabung dengan orang-orang yang sudah sejak lama ada di sana. Orang-orang yang rata-rata berperawakan kekar dan bertampang sangar dan berperilaku kasar. Tukang-tukang pukul.
Ki Sangar, kepala tukang-tukang pukul itu, mengajak orang-orang yang ada di sana dengan isyarat kepalanya agar mengikutinya. Mereka pun berbondong-bondong mengikutinya memasuki sebuah halaman luas yang sekelilingnya dilingkupi dinding berukiran patung-patung dan binatang. Sebuah halaman dalam dari rumah orang yang tadi disebut juragan oleh Ki Sangar. Seorang lumbung kota Kern.
Di depan sebuah pendapa tampak seorang agak setengah tua dengan tubuh yang agak kurus, tidak biasa untuk sosok seorang lumbung, duduk diabit beberapa orang berpakaian rapih, bukan tukang pukul. Ia adalah Raden Mas Suryo Rabat, keturunan kesekian dari Ki Rabat, seorang pedagang yang merintis jalur perdagangan dari timur ke barat di tlatah Nusantara. Suatu jalur perdagangan yang akhirnya berlanjut ke seluruh bagian dan juga ke pulau dan kota Kern.
"Ki Sangar, inikah tukang-tukang pukul baru yang akan dipekerjakan?" tanyanya.
"Benar juragan Rabat!" sahut Ki Sangar sambil menunduk hormat.
"Baiklah jika begitu. Bisa sekarang mulai dipisah-pisah berbagai keperluan?" tanya Suryo Rabat kepada Ki Sangar.
"Bisa, juragan!" jawab Ki Sangar segera. Ia memanggil seorang yang datang dengan catatan di tangannya dan membacanya. Ia kemudian mengumumkan sesuatu. Tampak bahwa dari orang-orang yang baru akan bekerja itu ada yang memilih suatu bagian dan ada yang memilih bagian lain. Tampak bahwa mereka menimbang-nimbang posisi di mana mereka dipekerjakan.
Akhirnya tersisi beberapa orang saja yang belum kebagian. Orang-orang yang tampaknya tidak terbiasa untuk bereaksi langsung apabila ada tawaran dalam pekerjaannya.
"Nah, kalian berlima ini bertugas menjaga juragan Rabat. Kalian harus panggil dia dengan sebutan itu. Atau bisa juga lengkapnya, Raden Mas Suryo Rabat!" jelas Ki Sangar.
Kelima orang itu menangguk mengiyakan. "Siap!!" sahut mereka bersamaan.
Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Masing-masing tukang pukul baru mendapat pekerjaannya masing-masing. Demikian pula dengan dua orang suruhan Lo-kai. Hanya saja mereka tidak dapat terlalu akrab karena mereka menyaru sebagai dua orang dari daerah yang berbeda. Mereka mengaku Akrim dan Bandi. Satu berasal dari salah satu desa di pinggir Gurun Besar dan lainnya berasal dari desa di dekat kota Air Jatuh.
"Akrim! Bandi!" panggil seorang tukang pukul kepada mereka yang sedang tampak berenam dengan kawan-kawan mereka mengaso sambil menyantap makan siang mereka.
"Ya?" sahut Akrim. Sedangkan Bandi hanya mengangguk.
"Sehabis makan nanti kalian dicari oleh juragan Rabat. Disuruh mengawal dia melihat-lihat ujung kota yang mengarah ke pantai utara daratan. Perjalanan bakal sampai besok pagi. Kalian bermalam di sana," jelas orang itu.
Keduanya mengangguk mengiyakan dan mempercepat makannya.
"Bakal membosankan perjalanan kalian," ucap seorang yang juga duduk di sana.
"Maksudmu?" tanya Akrim. Bandi hanya mendengarkan sambil terus melahap.
"Juragan Rabat biasa bersemedi di sana. Ia biasa melakukan itu untuk menenangkan dirinya dan untuk mengasah intuisi dagangnya. Ia selalu melakukannya sebelum melakukan transaksi dagang. Terlebih untuk pemilihan lumbung ini," jelas orang itu lagi.
"Ya, lebih enak kalau mengawal ia pelesir ke pantai barat. Di sana ada rumah Kembang Merah. Kalau ia lagi baik, kita juga kebagian," tambah yang lain. Tawa bergelak orang-orang yang duduk di sana segera membahana. Bandi yang umumnya hanya diam, tampak pula tersenyum.
Dari namanya saja, 'rumah Kembang Merah', sudah jelas apa maksudnya dengan pelesir. Bagi tukang-tukan pukul, suatu bonus berupa gratisan di sana sudah tentu amat didambakan. Juga tidak kecuali bagi Akrim dan Bandi. Tapi tugas dari Lo-kai lebih mengisi kepala mereka. Jika tidak berhasil, mungkin saja mereka tidak bisa pelesir selamanya.
"Akrim, bilang ke juragan Rabat aku pergi dulu dan akan menunggu di gerbang selatan kota. Ada keperluan sebentar!" ucap Bandi yang segera berlalu.
"Kemana dia?" tanya seorang tukang pukul setelah Bandi lenyap dari sana.
"Entahlah, aku tidak begitu mengenalnya," ucap Akrim pendek. Berusaha meninggalkan kesan bahwa ia dan Bandi banyak tahu dan saling kenal baik.
"Ya.. ya.. betul!" ucap seoran lain, "Kalian berdua itu berasal dari daerah yang berbeda."
"Betul!" Akrim membenarkan. Rupanya masih ada yang ingat dengan wawancara yang dilakukan oleh Ki Sangar.
Di depan pendapat halaman dalam kediaman Raden Mas Suryo Rabat tampak sang pemilik rumah, Ki Sangar dan Akrim.
"Kemana Bandi?" tanya Ki Sangar demi hanya melihat Akrim yang ada di sana dari dua orang yang dimintanya tadi melalu seseorang untuk datang.
"Ia menunggu di gerbang selatan kota," ucap Akrim pendek.
"Baik, jika begitu kita berangkat!" ucap Ki Sangar sambil minta persetujuan juragan Rabat.
Raden Mas Suryo Rabat menangguk dan mereka pun berangkat. Ketiganya menunggang kuda. Ki Sangar dan Raden Mas Suryo Rabat di depan, sedangkan Akrim di belakang sambil membawa kuda kosong untuk Bandi.
Di gerbang selatang Bandi telah menunggu. Tampak di punggungnya bungkusan besar yang dijelaskannya pelan sebagai persiapan untuk menginap. Tidak banyak pertanyaan untuk itu. Mereka pun memasuk kudanya perlahan karena jarak dari kota Kern ke ujung pantai selatan pulau Kern tidaklah terlalu jauh.
"Kita sudah sampai!" ucap Ki Sangar mewakili juragannya.
Keempatnya turun dan menuntun kuda masing-masing lalu menambatkannya pada sebuah tempat yang diperuntukkan untuk itu. Lalu mereka berjalan memotong ilalang yang cukup tinggi sampai ke suatu kawasan yang mulai berpasir dan debur ombak mulai terdengar di balik bukit-bukit pasir di depan mereka.
"Kalian berdua menjaga di sini!" perintah Ki Sangar. "Tanpa ada perintah, tidak boleh masuk ke sana!" katanya sambil menunjuk suatu bangunan kecil berwarna kegelapan di kejauhan. Ia dan Raden Mas Suryo Rabat bergegas berjalan pelan-pelan.
Setelah mereka berdua tidak lagi terlihat karena telah masuk ke bangunan jauh di sana, Akrim memandang Bandi dan berkata, "Sudah engkau beritahu Lo-kai?"
Bandi mengangguk dan memberi isyarat agar jangan terlalu keras mengucapkan kata-kata itu. Takut ada yang mendengar dan bisa membuka penyamaran mereka. Keduanya pun mulai membersihkan tempat mereka, ada sebuah bangunan kayu yang tampaknya memang untuk para penjaga yang menunggui orang yang akan menyepi di tempat itu.
"Apa itu?" tanya Akrim sambil menunjuk bungkusan besar yang telah dipindahkan Bandi ke gubuk mereka.
"Perlengkapan untuk menghibur diri," ucap Bandi sambil tersenyum. "Jika tidak, bosan kita semalaman hanya menganggur."
Malam pun datang. Sesekali-dua Ki Sangar mampir ke pada mereka dan akhirnya pamit menuju kota Kern dengan berpesan agar tidak mengganggu Raden Mas Suryo Rabat dalam bersemedi. Hanya jika juragan memanggil, boleh mereka datang. Keduanya menangguk mengiyakan.
Tiba-tiba sekelebat bayangan tampak muncul di hadapan mereka, di seberang api unggun yang mereka buat. Memandang mereka dengan mata, yang merupakan satu-satunya bagian muka yang terbuka dari topeng pada wajah itu. Sebelum keduanya sempat mencabut golok mereka bayangan itu segera bergerak lurus menembus api dan menotok keduanya.
Bandi dan Akrim hanya bisa terdiam kaku. Mereka tidak tahu siapa yang datang itu. Lo-kai atau orang lain. Siapa pun itu tidak lagi mereka bisa berbuat banyak. Telah kaku mereka. Dan selanjutnya orang itu mengeluarkan kain dan menutup mata dan telinga mereka juga mengikat tangan dan kaki pada patok yang ditanam di tanah dekat mereka dan menyamarkannya dengan rumput dan tanah. Sekilas akan terlihat bahwa mereka terdiam hanya dengan mata dan telinga terbalut kain, tapi tidak nyata ikatan pada kaki dan tangan mereka.
Kedua orang itu hanya bisa mengumpat pelan saat bau ikan dan ayam, yang rupanya menjadi bekal yang tadi dibawa Bandi, dibakar dan disantap orang itu. Samar-samar di balik balutan pada kuping mereka bisa terdengar orang itu mengunyah. Cara makan yang tidak menyembunyikan ceplak-ceplok suara mulutnya.
"Sekarang saatnya bekerja!" gumam orang itu yang bergegas melesat pergi meninggalkan kedua penjaga yang telah dilumpuhkannya itu dan juga sisa-sisa makan malamnya.
Sebelum orang itu sempat menjejakkan kakinya di pintu bangunan tempat menyepi itu, terdengar pintu ruang itu terbuka perlahan. Lalu sebuah suara terdengar tenang, "Silakan masuk, ki sanak! Aku telah menunggumu!"
"Darimana orang yang dipanggil Raden Mas Suryo Rabat tahu bahwa aku adalah orang yang ditunggunya?" jawab orang itu terkejut. Sejauh yang ia tahu juragan Rabat bukan seorang yang berilmu tinggi. Bila betul, tentu siasat telah dimainkan oleh orang itu.
"Dari dua orang yang engkau kirim untuk menyusup di antara tukang-tukang pukulku!" jelas juragan Rabat.
"Yang mana?" jawab penyelinap itu.
"Yang engkau temui di tempat menambatkan kuda di sana, di jalan masuk menuju tempat ini," jelas juragan Rabat lagi.
"Engkau salah! Mereka bukan anak buahku!" jawab penyelinap itu lebih tenang. Ternyata juragan Rabat belum tahu siapa dirinya.
"Bukan? Tidak mungkin!" jawab juragan Rabat, "Kami telah menemukan kabar bahwa kedua orang yang kusebutkan itu bukan berasal dari tempat asal mereka."
"Itu urusanmu dalam merekrut orang. Urusanku adalah mengambil dirimu!" jawab penyelinap itu.
"Untuk apa?" tanya juragan Rabat.
"Untuk apa, itu urusanku! Engkau hanya perlu ikut dan jangan melawan!" jelas penyelinap dengan nada yang agak meninggi. Tak sabaran sudah terlihatnya.
"Baik, aku ikut! Aku yang tiada kepandaian ini manalah bisa dibandingkan dengan dirimu, wahai Pujangga Sinting!" ucap juragan Rabat yang bergegas keluar tempat ia menyepi.
"Salah lagi Raden Mas Suryo Rabat, aku bukan Pujangga Sinting," jawabnya pendek.
"Tapi keterangan yang aku terima..?" jawab juragan Rabat yang tampak bingung.
"Keteranganmu atau pencari informasimu itu kembali salah. Amat menyesal bahwa juaragan Rabat yang terkenal pandai menerima informasi yang salah," jawab orang itu dengan nada mengejek.
"Kalau begitu, aku tidak ikut denganmu!" jawabnya.
"Heh!" ucap sang penyelinap kaget.
"Aku hanya akan ikut dengan Pujangga Sinting. Begitulah yang aku rencanakan!" jawabnya tegas.
"Anda masih waras, juragan Rabat? Berani menolak perintahku?" jengek orang itu.
"Kepada orang yang tidak kuketahui, mengapa harus takut?" jawab juragan Rabat jumawa, dengan sisa-sisa keberaniannya tentunya.
"Baik.. baik.., aku tidak mau ribut! Orang-orang memanggilku...," jawabnya yang terputus dengan datangnya beberapa senjata rahasia yang memaksanya mengelak.
"Tidak!!" teriaknya demi melihat setelah ia bangun dari gerakan menghidarnya bahwa juragan Rabat telah rebah dengan darah mengalir dari kerongkongannya. Sebuah pisau tampak menancam lurus di sana. Suara berkorokokan masih terdengar saat Raden Mas Suryo Rabat tersedak oleh darah yang mengalir keluar tubuh dan masuk ke dalam paru-parunya. Kehabisan darah dan kesulitan untuk bernapas.