Menyebarkan Benih
Nein Arimasen | 20:16 | 0 Kommentare
Kira-kira hampir setahun yang lalu dalam malam berhujan deras.
"Hhhhhhh!!! Arghhhh!!" rintihan seorang perempuan muda tampak samar-samar terdengar lirih di antara derasnya hujan yang menyapu bersih debu-debu udara malam di bagian selatan kota Kern. Sebuah rumah terbuat sebagian dari kayu berwarna hitam tampak terbuka jendelanya. Sinarnya lilin temaram menyajikan bayangan-bayangan yang bergerak naik dan turun dan bergerak meliuk-liuk.
"Suamiku... ahhhh!! Engkau benar-benar perkasa malam ini!!! Ahhhh!!" seru perempuan itu yang meliuk-liuk mengikuti irama sesosok bayangan yang bertumpu di atas perutnya. Ia mengejang berkali-kali meluapkan rasa puasnya saat mencapai puncak pengharapannya.
Yang tidak disadari oleh perempuan itu adalah siapa yang berada di atasnya. Sosok tersebut bukanlah suaminya yang tampak tertidur pulas di sampingnya dengan busana yang ala kadarnya. Rupanya mereka memang sejak semula sudah merencanakan untuk memadu kasih. Lalu datanglah bencana yang tidak mereka harapkan. Sesosok makhluk dengan tubuh hitam legam bersisi dengan sayap lebar dipunggungnya hinggap di atas bubungan rumah mereka. Dengan kemampuannya menipu pikiran dan pandangan manusia ia menyajikan bahwa sang perempuan sedang bercengkerama dengan suaminya dan bukan dengannya. Sang suami sendiri telah ia buat tidur pulas dengan kepuasan tersungging pada bibirnya.
Melenggak-lenggok tubuh perempuan itu dalam khayalannya. Ia merasa bahwa suaminya telah masuk sedalam-dalam yang ia harapkan dan memberikan kehangantan yang ia harapkan selama ini. Puncak yang ia telah tunggu-tunggu sejak mereka membangun kehidupan berdua.
Makhluk itu pun dengan menirukan suara sang lelaki ikut memuji kelincahan dan keanggunannya, serta segala ucapan yang dapat melambungkan seorang perempuan dalam khayalannya saat bersatu dengan pasangannya.
Akhirnya selesailah proses penyatuan itu. Dengan keringat yang bercucuran makhluk itu meletakkan sang wanita yang telah tertidur dengan lelahnya. Menjilati sedikit tubuh yang telah memberinya kepuasan dan terlebih akan menjadi penitip dari benih yang ia tanamkan. Dengan senyum yang tak jelas artinya ia melihat ke arah sang lelaki yang tertidur. Mungkin seakan-akan mengatakan bahwa agar merawat anak yang akan datang dalam rahim sang perempuan.
Tangannya yang panjang dan berbentuk seperti pedang, yang terbuat dari campuran tulang dan tempurung mirip kura-kura, ia merapikan selimut dan penutup tempat tidur kedua pasangan itu. Ia harus membuat keadaan tempat itu mirip dengan saat mereka berdua selesai melakukan hal yang beru ia nikmati.
Lalu dengan ketawanya yang lirih, yang menyakitkan telinga karena bunyi yang tinggi, ia melenting dan keluar dari jendela yang terbuka. Melesat ke dalam kegelapan malam dan derasnya air hujan yang masih terus jatuh.
"Tinggal satu lagi, rhhhhh!!" gumam makhluk itu saat ia terbang dalam hujan yang masih saja deras bagai dimuntahkan dari langit.
Sementara itu tampak dua sosok bayangan berlompatan dari satu atap rumah ke atap rumah lain dengan lincahnya. Menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki bukan main-main.
"Bagaimana cara kita melacak makhluk itu, guru?" tanya seorang dari mereka berdua.
"Dengan ini..," katanya sambil menyorongka sebuah kotak yang di atasnya berpendar batu berwarna. Samar-samar terlihat dalam derasnya air yang menyulitkan mata untuk melihat dengan jelas.
"Sebuah perkakas pencari?" tanya orang itu lagi.
"Ya, muridku. Ini adalah sebuah bagian dari jenis makhluk yang sama, yang akan bereaksi saat jenis mereka sedang datang masa berkembang biak. Dan hari ini adalah hari satu-satunya dalam kurun waktu tahunan mereka harus melepas benih mereka," jelas guru sang murid.
"Dan mengapa makhluk itu harus ditangkap?" ucap sang murid yang sedari awal pencarian itu tidak tahu apa sebabnya mereka melakukan sesuatu dalam cuaca seburuk ini.
"Untuk mencegahnya berkembang biak," ucap gurunya pendek.
Nada terakhir ini membuat sang murid urung untuk lebih jauh bertanya. Sebagai seorang pemburu bayaran atau Jäger, gurunya mendapat tugas yang cukup berat dengan bayaran yang tinggi malam ini. Kontrak pekerjaan ini sebenarnya telah datang jauh beberapa bulan sebelumnya. Bahkan dengan bayaran yang telah disetorkan lunas sejak awal. Hanya saja kapan pekerjaan itu harus dilakukan, belumlah jelas. Baru hari ini, sore sekali hampir menjelang gelap, datang seorang utusan dengan stempel yang sama dengan penawaran dan pengantaran uang, memberitahukan bahwa pekerjaan harus dilakukan malam ini. Disertakan pula sebuah perkakas untuk melacak keberadaan buruan mereka. Sesosok Dahtula, Manusia Naga Hitam.
"Jika ia terbang, akan sulit kita untuk melacaknya..," dengan hati-hati sang murid membuka mulut. Ya, sedari tadi mereka hanya melihat cahaya dari perkakas pelacak itu memendar terang kemudian redup dengan cepat dalam suatu jurusan. Belum dengan mata kepala sendiri mereka menemukan makhluk yang dicari itu.
"Tapi konon, sulit sesosok Dahtula untuk terbang dalam cuaca seburuk ini," ujar gurunya, "tubuhnya yang banyak mengandung unsur api... tidak terlalu tahan dengan tumbukan terlalu sering air hujan.."
"Kita perlu tahu dulu apa tujuan dari Dahtula ini sehingga kita bisa memotong jalannya, guru..?" tanya pemuda itu lagi.
Orang tua itu mengangguk, "Ya, dan ia ingin berkembang biak dengan menggunakan seorang manusia perempuan. Pemberi tugas kita telah memberikan sejumlah daftar kira-kira orang-orang yang akan dicarinya dengan menyebar mata-mata untuk memantai masa ovulasi para pasangan muda."
Menggangguk-angguk pemuda itu mendengarkan penjelasan gurunya.
"Sudah hampir semua titik tujuan kita coba, mungkin di titik terakhir kita beruntung," ucapnya sambil memperhatikan peta yang dibacanya.
Muridnya menangguk dan kemudian meloncatlah mereka menuju atap rumah terdekat dan selanjutnya mendekati titik seperti yang tertera di dalam peta.
Sementara itu hujan mulai mereda. Dan bulan pun mulai malu-malu muncul dari balik awan yang tadinya gelap dan basah. Sesosok makhluk tampak kelelahan keluar dari sebuah rumah yang baru saja ia masuki, untuk melepaskan benih terakhirnya. Sepanjang beberapa tahun dalam hidupnya, ia hanya memiliki dua buah kesempatan untuk membuahi manusia. Dari hasil itu, beberapa keturunan dapat menghasilkan sosok-sosok makhluk seperti dirinya. Dengan cara ini bangsanya dapat bertahan hidup di balik pengejaran manusia yang gemar memanfaatkan bagian-bagian tubuh bangsanya untuk obat, senjata dan kebutuhan lain. Bangsanya dengan cara yang sama-sama kejam memanfaatkan balik rahim manusia untuk menyelundupkan kehidupan mereka dalam beberapa keturunan, yang tidak diketahui kapan akan muncul kembali dalam bentuknya.
Ia pun terbang melompat perlahan. Tapi tak berapa jauh ia kembali harus mendarat karena tenaganya telah hampir habis akibat kegiatan yang baru ia lakukan. Di atas sebuah rumah kosong ia pun mendaratkan dirinya. Dicobanya untuk mengumpulkan kembali tenaga denga menarik napas panjang berkali-kali.
Makhluk itu tampak menarik napas panjang. Selesai sudah tugasnya malam ini. Ia sudah siap untuk berhadapan dengan segala jenis pemburu yang akan menghadangnya. Dari nalurinya, ia sudah menduga akan ada orang yang mengejarnya. Benihnya yang telah masak merupakan suatu barang tersendiri yang dihargai mahal oleh orang-orang yang mengerti untuk memanfaatkannya. Dan ia tidak memperbolehkan itu.
"Itu Dahtulanya, guru!" tiba-tiba teriak seorang pemuda yang berlari-lari di atas rumah menuju ke tempat makhluk itu bertengger. Sesosok bayangan nampak berlari bersama-sama dengannya.
Demi mendengar suara itu dan melihat bahwa yang mengejarnya telah muncul, makhluk itu melenguh keras dan mulai mengembangkan sayapnya. Ia mengepak-ngepakknya keras sehingga tercipta angin yang besar. Lalu mencobalah ia dengan sisa-sisa tenaganya dari proses membuahi melombat tinggi ke udara.
Di saat itu pemuda yang berteriak tadi dengan tanpa perhitungan melompat dan melemparkan seutas tali yang diujungnya dipasangkan kait. Tali tersebut melipat dan mengikat kaki dari makhluk itu. Membuatnya tidak dapat terbang dengan bebas. Dan sebelum ia bisa memutuskan tali tersebut dengan tangannya yang tajam seperti pedang ia berupaya untuk membabat putus tali yang melibat kakinya. Tapi halangan pedang dari sang pemuda yang menggelantung melukai tangannya, "Tagggg!! Crott!!"
Makhluk itu meraung keras. Sakit, lemas dan marah!! Jika hari ini adalah hari akhirnya, ia akan membawa dua orang itu turut serta ke alam sana. Alam kematian.
"Tusuk hulu kakinya!" perintah gurunya demi melihat muridnya bergantung pada Dahtula yang sedang terbang rendah karena tak dapat menahan beban muridnya.
Ayunan pedang pun dilakukan demi menuruti petunjuk gurunya. "Takkk!!" ekor dari makhluk tersebut berusaha menghalangi.
Sementara itu sang guru segera mengeluarkan sesuatu dan mengaburkannya di udara. Bubuk pembius. Tampak makhluk itu meraung lebih keras. Ia paling benci cara-cara keji. "Jika mau bertarung, bertarunglah!!" raungnya.
Tapi permintaan itu tak digubris dua orang pemburunya. Ya, bagi para pemburu, tidak penting bahwa mereka harus bertarung dengan jujur dengan buruannya. Tujuan mereka adalah mendapat mangsa yang dipesan, baik hidup ataupun mati. Itu saja.
Akhirnya dengan raungan yang menyakitkan sebuah tusukan mengarah pada hulu kakinya mengenai sasaran. Bercakkan darah hitam mengalir turun membasahi bumi. Terciprat pula wajah sang pemuda yang telah mendarat di atas tanah. Sang Dahtula sendiri telah jatuh dengan berdebam di atas tanah. Mengerang-ngerang antara sadar dan tak sadar. Bubuk bius yang tapi telah dileparkan ke mukanya membuat ia tidak lagi bisa mengendalikan gerakan-gerakan anggota tubuhnya, juga tusukan pada pusat tenaganya, membuat himpunan hawa yang biasanya ia kumpulkan untuk terbang dan bertarung menjadi buyar. Digantikan dengan mengalirnya cairan kehidupan berwarna kehitaman dari padanya.
"Engkau tidak apa-apa?" serunya kepada muridnya seraya membantunya bangun.
Muridnya hanya menggeleng lemah. Pergulatan tadi telah banyak menyita tenagannya. Untung saja darah makhluk itu tidak meracuni ia yang tersimbah banyak sampai seperti ini, seakan-akan mandi olehnya.
"Dahtula Lainitunz, engkau telah melangar perjanjian kaummu dengan menyebarkan benih di antara manusia," ucap orang tua itu sambil membaca gulungan kertas yang diberikan oleh sang pemesan pekerjaan ini.
"Arrrrggg!!! Perjanjian!! Hahhhh!!!" ucap Lainitunz dengan erangan, "engkau hanya pemburu, uang adalah tujuanmu!! Cepat bunuh aku!!!" Dengan erangan yang keras ia mencoba untuk bangkit dan menyerang sang orang tua.
Tapi terlambat, sepucuk pedang dari sang orang tua segera menamatkan riwayat sang Dahtula. Dengan raungan keras ia masih mencoba untuk menyabetkan kedua lengan pedangnya ke arah dalam, di mana orang tua itu berdiri. Putaran pedang dalam dadanya menghentikan gerakan lengannya dan ia pun mati kaku dalam keadaan siap berdiri dan memangsa penyerangnya.
"Guru!!" seru pemuda itu. Ia melihat bahwa posisi gurunya amatlah genting. Bila gurunya tidak melakukan serangan terakhir itu, bisa jadi pukulan Dahtula masih dapat sampai dan mencapai dan menewaskannya.
"Aku tidak apa-apa..," jawabnya pucat. Setelah ia menarik pedangnya sang Dahtula pun jatuh berdebam.
Lama setelah memperhatikan dan mencari-cari di bagian pangkal kaki dari makhluk itu, sang orang tua menghela napas, "Kita terlambat..! Ia telah melepaskan kedua benihnya!!"
"Jadi..??" tanya muridnya.
"Kita harus menunggu beberapa saat lagi atau mungkin bertahun lagi sampai sosok turunannya muncul dari perempuan yang dibuahinya," jawabnya pendek.
"Dan kita tidak tahu perempuan mana yang telah dibuahi..," ucap muridnya.
Gurunya hanya mengangguk.
"Paling tidak sembilang bulan dari sekarang harus diadakan pencarian lagi...," ujarnya. "Tapi itu bukan tugas kita lagi. Tugas kita sudah selesai sampai sini. Membunuhnya dengan atau tanpa benih terdapat padanya."
Mereka pun kemudian memberi tanda pada jasad Dahtula yang telah mendingn itu. Menandakan bahwa itu adalah hasil buruan mereka. Selanjutnya mereka pulang ke markas mereka untuk menyuruh orang mengambil hasil buruan itu dan juga memberi kabar kepada pemberi pekerjaan bahwa tugas telah selesai dilaksanakan.